Friday, April 3, 2009

MENINGKATKAN GAYA HIDUP AKTIF PARA LANSIA MELALUI AKTIVITAS JASMANI DAN OLAHRAGA


Oleh:

Akhmad Sobarna

ABSTRAK

Manusia akan mengalami proses penuaan seiring dengan berjalannya waktu baik. Proses ini mengakibatkan perubahan-perubahan fisiologis tubuh yang sering identik dengan degeneratif. Perubahan ini tentunya akan mempengaruhi tingkat kesehatan manusia itu sendiri. Tanpa mengabaikan faktor lain kurangnya aktivitas jasmani selama proses itu ikut mempercepat terjadinya perubahan-perubahan fisiologis. Berbagai penyakit akan serta merta menyerang karena kondisi sensitif yang ditimbulkan perubahan itu. Masa inilah manusia dinamakan lansia dan akan terus bertambahnya lansia di dunia menjadi suatu permasalahan yang komplek.

Lansia, secara kronologis sudah berumur di atas 60 tahun. Beberapa lembaga ada yang mengelompokkan lansia ini berdasarkan usianya. Secara biologis, lansia mempunyai ciri-ciri yang dapat dilihat secara nyata pada perubahan-perubahan fisik dan mentalnya. Penting bagi lansia untuk melakukan berbagai bentuk aktivitas jasmani yang sesuai dan sering dilakukan dalam rutinitas sehari-hari. Hal ini karena manfaat akvitas jasmani yang bukan hanya menyentuh tatanan fisik, tetapi juga psikis dan sosial. Olahraga kesehatan yang dilakukan juga harus dapat mencapai syarat didapatkannya kesegaran jasmani. Olahraga air sangat membantu meringankan berbagai gejala penyakit yang mungkin akan menyerang lansia.

Kesehatan merupakan hal yang terpenting bagi lansia, oleh karena itu perlu dilakukannya peningkatan kesehatan bagi lansia. Selain melalui berbagai bentuk aktivitas jasmani yang disukai dan menyenangkan bagi dirinya juga perlu diperhatikan nutrisi makanannya, dukungan orang-orang disekitarnya secara psikologis maupun sosial. Kondisi yang baik itu diharapkan dapat memberikan keinginan pada lansia untuk ikut terlibat dalam berbagai kegiatan untuk mendapatkan pengakuan dan mendapatkan ketentraman hidup menjelang akhir hayat.

Kata kunci: aktivitas jasmani, olahraga, lansia

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara kronologis usia manusia akan terus bertambah seiring bergantinya waktu. Bersamaan dengan meningkatnya usianya, beberapa fungsi vital dalam tubuh ikut mengalami kemunduran. Pendengaran mulai menurun, penglihatan kabur, dan kekuatan fisiknya pun mulai melemah. Kenyataan itulah yang dialami oleh orang yang sudah lanjut usia (lansia). Garis hidup alami yang harus dilalui manusia itu merupakan suatu keadaan komplek. Hal ini dikarenakan manusia yang sudah usia lanjut banyak mengalami berbagai masalah kehidupan bukannya hanya faktor bilogis tersebut saja, tetapi juga faktor psikologis dan sosial mempengaruhi gaya hidup mereka. Menjadi tidak akan bisa dihindari tetapi harus dipersiapkan dengan baik agar mampu mengarungi hidup semasa tua tersebut.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan mengimbau masyarakat sedunia untuk memberikan perhatian khusus kepada warga lanjut usia (lansia) tanggal 1 Oktober guna memperingati Hari Lansia Internasional. Pada hari istimewa itu pergilah berkunjung ke rumah para lansia atau ke panti-panti jompo tempat tinggal mereka. Ajaklah mereka mengobrol, dengarkanlah cerita-cerita mereka tentang pengalaman masa lalunya, atau ajaklah mereka bernyanyi. Pokoknya, buatlah hati mereka senang, jadikanlah mereka raja sehari (Sarwono dan Koesoebjono, Suara Pembahruan, 1 Okober 2004).

Pemerintah kurang memperhatikan para lansia. Padahal jumlah lansia makin lama makin meningkat berkat perbaikan kondisi kesehatan dan kemajuan teknologi kedokteran. Di Indonesia saat ini ada sekitar 10 juta orang (4,6 % dari jumlah penduduk) yang berusia di atas 65 tahun. Pada tahun 2020, diprediksi Indonesia akan mempunyai penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 18 juta jiwa orang (Wibowo dalam Harsuki, 2003: 244). Bahkan Indonesia termasuk salah satu negara yang proses penuaan penduduk-nya paling cepat di Asia Tenggara. Tetapi anggaran pemerintah untuk membantu kehidupan mereka (dana pensiun, asuransi kesehatan, penyediaan fasilitas panti jompo) kecil sekali dibandingkan dengan anggaran untuk kegiatan ekonomi dan untuk pertahanan nasional. Padahal, sebagain besar warga lansia hidup pas-pasan bahkan kekurangan.

Melihat hal itu jelas bahwa penuaan pada lansia merupakan permasalahan yang cukup komplek yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Tingkat kesehatan merupakan salah satu permasalahan yang akan dihadapi para lansia, terutama kesehatan dari segi jasmani. Hal ini dikarenakan makin tua usia seseorang, makin banyak penyakit yang menghampirinya. Beberapa penyakit yang akrab dengan lansia, seperti: diabetes mellitus (kencing manis), jantung, hipertensi, pembesaran prostat, dan katarak. Osteoporosis juga merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang lansia. Diabetes mellitus merupakan penyakit yang terjadi akibat gangguan pankreas (organ tubuh penghasil insulin). Penyebabnya bisa jadi karena keturunan, namun juga faktor gaya hidup "modern". Jika tidak ditangani dengan baik, penyakit ini dapat memicu komplikasi penyakit lain, seperti katarak, kebutaan, retinopati, glaukoma. Akibat perubahan gaya hidup, terutama dalam hal pola makan, penyakit lain seperti hipertensi, jantung koroner, dan penyakit pembuluh darah lain pun semakin mudah menyerang. Sementara itu, gangguan pembesaran kelenjar prostat termasuk penyakit yang ditakuti para pria di atas 40 tahun. Penderita prostat biasanya menunjukkan gejala sering kencing (5-10 kali) pada malam hari, tapi penderita merasa tidak puas setelah kencing, meski telah mengejan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Inayah Budiasti dari Hanglekiu Medical Center ditemukan bahwa pada lansia Penurunan berat badan (BB) merupakan faktor yang harus diwaspadai, karena mempengaruhi angka kematiannya. Penelitian yang dilakukan di sebuah Panti Werdha menunjukkan lansia yang mengalami penurunan BB lebih dari 10% dalam waktu 6 - 36 bulan, didapatkan angka kematiannya sebesar 62% dalam jangka waktu 3 tahun, sedangkan pada lansia yang tidak mengalami kehilangan BB angka kematiannya hanya sebesar 42% dalam kurun waktu yang sama. Oleh karenanya dukungan nutrisi yang adekuat pada lansia merupakan hal yang sangat penting untuk tetap mempertahankan kualitas hidup dan kesehatan yang optimal (Suara Merdeka Cyber News, 2006:1).

Meskipun begitu, kenyataannya banyak lansia dapat menikmati kehidupan yang cukup nyaman dan mendapat perawatan kesehatan yang cukup baik. Di mana-mana kita lihat orang-orang tua yang sudah berambut putih yang masih menyetir mobil sendiri, dengan kursi roda atau berjalan dengan bantuan tongkat atau kereta dorong (semacam troli). Mereka pergi ke kafe, ke pasar, ke perpustakaan dan ke konser musik klasik. Bisa juga mereka ikut klub dansa untuk 55+, klub berenang atau sekali seminggu ikut main bingo. Pokoknya mereka masih bisa menikmati hidup senang, sekalipun jarang sekali dijenguk anak-cucu. Tetapi tidak semua orang beruntung dan berbahagia bisa hidup sehat sampai tua. Banyak lansia yang menderita berbagai penyakit atau lumpuh sehingga terpaksa berbaring di tempat tidur sepanjang hari. Juga cukup banyak yang menderita demensia, yang lupa akan keadaan sekelilingnya, termasuk lupa suami/istri atau anak, bahkan lupa perawat yang tiap hari dilihatnya, sehingga sulit berkomunikasi dengan orang lain. Lansia yang sakit atau demensia biasanya menjadi depresif dan ingin lekas mati.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Memahami Lansia

Lansia merupakan masa manusia menapaki kehidupan menjelang akhir hayat. Keadaan ini identik dengan perubahan-perubahan yang mencolok pada fisik maupun psikis manusia tersebut. Secara kronologis lansia merupakan orang yang telah berumur 60 tahun ke atas (Wahyuni, 2003:1). Tetapi ada juga menyebutkan bahwa lansia itu orang yang telah berumur lebih dari 65 tahun. Menurut Giriwijoyo dan Komariah (2002: 7) secara kronologik lansia berumur 60 – 70 tahun, sedangkan lansia yang berisiko tinggi berusia di atas 70 tahun atau di atas 60 tahun yang mengidap penyakit. Dirjen Kesehatan Masyarakat (1990) dalam Giriwijoyo dan Komariah (2002: 7) mengelompokkan usia di atas 40 tahun sebagai berikut: (1) usia menjelang lanjut 40 – 55 tahun, (2) usia lanjut masa presenium 55 – 64 tahun, (3) usia lanjut masa senescens di atas atau sama dengan 65 tahun, (4) usia lanjut risiko tinggi di atas 70 tahun. WHO juga mengelompokkan lansia menjadi: (1) Middle Age 45 – 59 tahun, (2) Elderly 60 – 74 tahun, (3) Old 75 – 90 tahun, dan (4) Very Old di atas atau sama dengan 90 tahun (Giriwijoyo dan Komariah, 2002: 7-8).

Secara biologis Wibowo (dalam Harsuki, 2003: 245) menyebutkan bahwa proses penuaan pada tubuh manusia ditandai dengan: (1) kulit tubuh menjadi lebih tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi; (2) rambut rontok warnanya berubah putih, kering dan tidak mengkilat; (3) jumlah otot berkurang, ukurannya menciut, volume otot secara keseluruhan menciut dan fungsinya menurun; (4) otot-otot jantung mengalami perubahan degeneratif, ukuran jantung mengecil, kekuatan memompa darang berkurang; (5) pemburuh darah mengalami kekakuan (Arterikloresis); (6) terjadi degenerasi selaput lendir dan bulu getar saluran pernapasan, gelembung paru-paru menjadi kurang elastis; (7) tulang menjadi keropos (Osteoporosis); (8) akibat degenerasi di persendian, permukaan tulang menjadi kasar; (9) jumlah Nefron (satuan fungsional dari ginjal yang tugas membersihkan darah) menurun. Secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan-perubahan fisioligis tersebut diakibatkan oleh adanya degenerasi fungsi alat-alat tubuh tersebut. Penyebab dari degenerasi tersebut sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Para pakar berpendapat karena adanya senyawa radikal bebas, arteriklerosis, dan kurangnya aktivitas fisik.

Pengelompokan lansia juga didasarkan pada mudahnya mereka terkena penyakit, menurut Siburian (2006:1-2) terdiri atas: (1)lansia yang sangat tua, (2) lansia duda, (3) lansia yang kesepian, (4) lansia yang baru keluar dari rawat inap di rumah sakit, (5) lansia yang mengalami dukacita yang dalam (Breavement), dan (6) lansia yang depresi. Lansia yang sangat tua adalah mereka yang telah berusia 80 tahun atau lebih, ditandai dengan sangat berkurangnya fungsi-fungsi oragan tubuh. Lansia duda adalah lansia pria yang hidup sendiri tanpa didampingi istri. Lansia yang kesepian adalah lansia yang hidupnya sendirian, yang biasanya dialaminya pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat seringkali mengalami kesepian. Lansia yang baru keluar dari keluar dari perawatan di rumah sakit merupakan lansia yang baru sembuh dari penyakit yang diidapnya, keadaan ini biasanya akan semakin rentan karena penyakit akan bertambah akut. Lansia yang baru mengalami duka cita yang mendalam biasanya disebabkan oleh ditinggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan peliharaan yang disayangi. Kelompok-kelompok lansia tersebut secara umum sangat rentan terserang penyakit karena penurunan kondisi kesehatan fisik maupun kesehatan mentalnya. Sehingga perlu adanya pendekatan yang mendalam dan spesifik terhadap kelompok lansia dari segi kesehatannya tersebut agar mereka bisa kembali melanjutkan kehidupannya tanpa membebani dirinya dan orang lain sampai akhir hayatnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2003:1) dari tiga provinsi yang dijadikan sampel, yaitu DIY, Bali, dan Sumatra Utara ditemukan bahwa: (1) Laki-laki maupun perempuan (peran, pengetahuan, keterampilan) lansia dan keluarga serta masyarakat tentang ciri-ciri lansia terutama yang sifatnya fisik (kondisi dan keadaan) dan non fisik cenderung tinggi yang berkaitan dengan aspek moral dan agama, dimana fisik-dan non fisik dirasakan oleh keluarga dan masyarakat, bahwa lansia yang merupakan curhat atau permintaan nasehat yang berkaitan dengan aspek moral dan agama, (2) Jaminan lansia dari aspek kebutuhan material nampaknya tergantung dari status/jenis pekerjaan PNS, swasta, atau wiraswasta, (3) Kelompok lansia mengikuti kegiatan perlu dilihat kondisinya, terutama pemberdayaan ekonomi produktif berupa modal dan bimbingan serta usaha disesuaikan kondisi lansia, (4) Selain mengikuti kegiatan Posyandu juga kegiatan untuk mendekatkan diri dalam mempersiapkan kehidupan setelah di dunia, dan pemeriksaan kesehatan, yang dibina oleh pihak Puskesmas, (5) Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dilakukan tidak hanya mengisi waktu para lansia pergi berkebun, dan (6) Tidak semua lansia mengetahui fasilitas pemerintah seperti discount membeli ticket pesawat terbang yang mempunyai KTP seumur hidup

B. Manfaat dan Pentingnya Aktivitas Jasmani Bagi Lansia

Secara fisiologis para lansia itu mengalami penurunan fungsi-fungsi organ tubuh yang berakibat pada menurunnya jumlah aktivitas jasmani yang dilakukan. Menurunnya aktivitas jasmani ini justru akan menimbulkan berbagai gangguan fungsional karena ketidakseimbangan gaya atau pola hidup. Pola makan yang tidak teratur tanpa diimbangi aktivitas jasmani yang sesuai akan mengakibatkan resiko kegemukan. Kegemukan tersebut akan memberikan kesempatan berkembangnya berbagai penyakit seperti Diabetes mellitus. Keadaan ini berbeda jika aktivitas jasmani yang sesuai dilakukan, maka akan terjadi penurunan resiko terbesar ditemukan pada pria yang kelebihan berat badan (overweight), walaupun pria tadi tidak mengalami penurunan berat badan, laju kemungkinan untuk timbulnya diabetes menurun sekitar 60 % dibanding pria gemuk lain yang inaktif (Yayasan Jantung Sehat, 2003: 16). Diungkapkan juga bahwa kemungkinan ketergantungan fungsional pada lanjut usia yang inaktif akan meningkat sebanyak 40 – 60 % dibanding lansia yang bugar dan aktif secara fisik.

Aktivitas jasmani akan merubah pandangan penuaan pada lansia. Hal ini dikarenakan manfaat aktivitas jasmani adalah mengembangkan fungsi fisik, mental dan sosial, meningkatkan kualitas hidup dan meninggikan harapan hidup. Kurangnya aktivitas jasmani merupakan suatu permasalahan dalam kehidupan lansia. Padalah akvititas jasmani sangat besar menyumbang pada kemampuan seseorang untuk menjaga keberfungsian, mobilitas, dan kesehatan yang baik. Terutama pada lansia yang banyak kehilangan fungsi sebagai akibat dari konsekuensi fisiologis yang alami. Kebanyakan lansia kurang aktif atau aktivitas yang menurun, tapi ada banyak pemikiran mereka yang dapat membentuk lebih banyak aktivitas jasmani melalui kehidupan sehari-harinya. Pemikiaran yang sangat bagus mengenai aktivitas jasmani adalah bahwa ada banyak jalan untuk melakukannya, tergantung dari kecenderungan pribadi, tersedianyan sumber daya, kemampuan fungsional, iklim dan faktor lainnya. Hal yang paling penting adalah menemukan sesuatu yang disukai dan memulainya.

Ribuan studi penelitian memperlihatkan manfaat positif kesehatan aktivitas jasmani reguler untuk lansia. Tambahan aktivitas jasmani dapat secara positif berdampak pada fungsi mental dan sosial serta menyediakan manfaat semua kehidupan. Laporan dari US Surgeon General tahun 1996 dalam sebuah pernyataan mengenai aktivitas jasmani dan kesehatan: "No one is too old to enjoy the benefits of regular physical activity”. Sekitar 88 % lansia di atas usia 65 tahun didapati setidaknya satu kondisi kronis. Kebanyakan lansia mempunyai fungsi yang terbatas dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Karena aktivitas jasmani dapat mencegah, mengurangi atau mengatur dampat negatif dari penyakit kronis dan meningkatkan keberfungsian, sehingga aktivitas jasmani bernilai khusus untuk kelompok usia ini.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan beberapa hal. Aktivitas jasmani diantara pada lansia Amerika Serikat tidak mengalami peningkatan dalam jangka waktu 10 tahun. Para lansia sangat tidak aktif yang dilihat dari sekitar 34 % dari lansia yang berusia 65 – 74 tahun tidak mendapatkan waktu luang untuk berkativitas jasmani. Kebanyakan lansia melakukan sedikit, bahkan tidak cukup aktivitas jasmani. Hanya satu dari tiga lansia mendapatkan kecukupan aktivitas jasmani dengan mengikuti tingkat rekomendasi. Beberapa kelompok lansia terutama mendapatkan aktivitas jasmani tingkat rendah, sebagai contoh beberapa kelompok ras/etnik kurang aktif secara jasmani dibandingkan orang kulit putih. Sedikit lansia melakukan latihan kekuatan dan daya tahan. Bahkan pemerintah Amerika Serikat dalam upaya meningkatkan tingkat aktivitas jasmani para lansia mengeluarkan pernyataan “Physical inactivity is a public-health issue, not just a personal problem”.

Aktivitas jasmani dapat mengembangkan fungsi jasmani, dengan jalan: (1) mengurangi dan membantu regulasi tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan gula darah tinggi, (2) mengembangkan keseimbangan dan membantu pencegahan jatuh, (3) mencegah atau menurunkan sakit persendian dari arthtitis, (4) mengembangkan kelentukan dan mobilitas persendian (keleluasaan gerak), (5) menjaga kekuatan tulang dan membantu pencegaharan pengeroposan karena osteoporosis, (6) membantu pencegahan dan mengontrol penyakit kronis, (7) menjaga kekuatan otot-otot sehingga dapat mengangkat, meraih, mendorong, menarik, berdiri dan berjalan, (8) mengembangkan kesegaran kardivaskuler, (9) membantu pemeliharaan berat badan sehat.

Aktivitas jasmani juga dapat mengembangkan fungsi psikis/mental, seperti: (1) meningkatkan suasana hati (mood), menciptakan perasaan nyaman, (2) menyediakan istirahat, mengurangi kecemasan, dan menurungkan tingkat stress, (3) membantu pemeliharaan fungsi kognitif dan kewaspadaan, meningkatkan konsentrasi, (4) membantu penurunan depresi, (5) dapat mengembangkan harga diri, (6) membantu peningkatan tidur. Fungsi sosial juga dapat dikembangakan melalui aktivitas jasmani, seperti: (1) meningkatkan perasaan bebas dan mengembangkan pemberdayaan, (2) meningkatkan interaksi sosial ketika bekerja dengan orang lain, (3) memperluas jaringan-jaringan sosial, (4) meningkatkan partisipasi sosial, (5) membantu terciptanya stimulasi lingkungan untuk meningkatkan masyarakat madani, (6) menyediakan kesempatan untuk hubungan antar generasi. Secara umum aktivitas jasmani dapat bermanfaat bagi lansia dalam: (1) membantu pemeliharaan kebebasan, (2) membantu semua perasaan yang lebih baik, (3) meningkatkan kualitas hidup, (4) memberikan energi, (5) mengembangkan kesehatan umum, (6) berhubungan dengan sedikit hal-hal yang berbau rumah sakit, mengunjungi dokter, pengobatan, dan sedikit pembiayaan medis, (6) membantu pencegaharan kematian sebelum waktunya.

Tentang manfaat olahraga, penelitian Kane et al (Martono dan Darmoyo, 2005: 16) mencatat beberapa hal penting, yaitu: (1) Latihan / olahraga dengan intensitas sedang dapat memberikan keuntungan bagi para lansia melalui berbagai hal, antara lain status kardiovaskuler, risiko fraktur, abilitas fungsional dan proses mental, (2) Peningkatan aktivitas tersebut hanya akan sedikit sekali menimbulkan komplikasi, (3) Latihan dan olahraga pada usia lanjut harus disesuaikan secara individual, dan sesuai tujuan individu tersebut. Perhatian khusus harus diberikan pada jenis dan intensitas latihan, antara lain jenis aerobik, kekuatan, fleksibilitas, serta kondisi peserta saat latihan diberikan, (4) Latihan menahan beban (weight bearing exercise) yang intensif misalnya berjalan, adalah yang paling aman, murah dan paling mudah serta sangat bermanfaat bagi sebagian besar lansia, (5) Lansia yang sedenter harus diransang untuk melakukan latihan secara tetap. Whitehead menyatakan bahwa sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa sedikit sekali perubahan kebugaran fisik yang terjadi bila latihan dilakukan kurang dari 3 kali perminggu. Akan tetapi tidak terdapat tambahan keuntungan yang berarti bila latihan dijalankan lebih dari 5 kali perminggu.

C. Aktivitas Jasmani dan Olahraga Untuk Gaya Hidup Aktif Lansia

Ada beberapa prinsip yang harus digarisbawahi ketika para lansia memulai atau meningkatkan aktivitas jasmani mereka, prinsip ini akan membantu pengetahuan: (1) seberapa sering lansia seharusnya melakukan aktivitas kekuatan, penguluran dan keseimbangan?, (2) cara untuk membantu pengetahuan lansia jika mereka aktif pada aktivitas sedang, (3) seberapa banyak aktivitas lansia yang tidak aktif seharusnya dimulai?, (4) bagaimana dan kapan untuk meningkatakn aktivitas jasmani?, (5) bagaimana menyarankan cara untuk membuat bagian terberat aktivitas jasmani setelah lansia menjadi lebih segar sehingga individu itu dapat menjaga perkembangannya? (The American Society on Aging, 2002: 14).

Aktivitas jasmani yang akan diarahkan pada gaya hidup aktif para lansia sebenarnya tidak harus terstruktur dengan latihan yang rumit, tetapi bisa melalui berbagai aktivitas jasmani sehari-hari yang dilakukan oleh para lansia. Hal ini dikarenakan begitu sensitifnya kondisi fisiologis para lansia. The American Society on Aging (2002: 14) merekomendasikan Tujuh (7) langkah memulai aktivitas jasmani para lansia agar tetap aktif secara jasmani lakukanlah cara berikut ini. Pertama, Mengambil tahap pertama adalah sulit, tapi akan mendapatkan kemudahan. Ambil beberapa dukungan sosial dari teman-teman, anggota keluarga, atau orang lain dalam kelompok aktivitas itu, berikan pesan-pesan positif dan hadiah yang sesuai, sebelum kita tahu bahwa aktivitas jasmani merupakan rutinitas sehari-hari kita. Kedua, mulailah dengan pelan-pelan. Mulai dengan 5 – 10 menit aktivitas jasmani dan tingkatkan terus dalam waktu 30 menit sehari, tetapkanlah tujuan yang dapat diraih dalam jalan menuju tujuan jangka panjang sehingga dapat perasaaan baik mengenai peningkatannya dan jangan patah semangat, gunakanlah sepasang sepatu olahraga yang baik ketika melakukan aktivitas jasmani.

Ketiga, ada cara yang benar dan cara yang salah. Gambarkanlah pilihan kita, sebagai contoh ada lansia yang lebih senang melakukan aktivitas jasmani di luar dari pada di dalam ruangan, kesenangan dan ketidaksenangan pribadi akan menentukan apa yang harus dilakukan, kapan harus dilakukan, dimana harus dilakukan, dan dengan siapa melakukannya. Kemudian calah berpikir sesuatu yang baru, dan tetap lakukanlah apa yang disukai. Keempat, hanya 30 menit sehari aktivitas jasmani dengan intensitas sedang , seperti: jalan cepat, akan memberikan manfaat kesehatan. Bagilah 30 menit menjadi 10 menit perbagian pada pagi, siang dan malam hari, mulai dengan 10 menit dan kemudian tambah 10 menit lagi jika sudah siap kembali, jalan adalah aktivitas yang paling dikenal, lakukanlah dengan cucu, teman atau anjing, olahraga rekreasi atau menari mungkin akan menyenangkan, lakukanlah kerja yang membutuhkan waktu lama (menggali, mencagkul), mencuci mobil, membersihkan debu, aktivitas lain yang ada disekitar rumah yang dapat dilakukan dengan intensitas sedang, kira-kira sama dengan jalan cepat, jika senang beraktivitas jasmani di pusat-pusat kebugaran, cari yang fasilitasnya bersahabat dengan lansia.

Kelima, kelebihan waktu dalam rutinitas termasuk aktivitas kekuatan, kelentukan, keseimbangan, dan daya tahan. Keenam, dengarkanlah tubuh kita. Membuka pengalaman-pengalaman baru dengan mempertimbangkan pesan dari tubuh kita (contohnya: pelan-pelan), lakukanlah aktivitas yang memberikan hubungan antara jiwa dan raga jika suka (tai chi dan yoga). Ketujuh, kebanyakan para lansia merasakan lebih baik jika aktif secara jasmani. Periksalah kesehatan sebelum memulai aktivitas jasmani jika mempunyai penyakit-penyakit kronis (tekanan darah tinggi, diabetes, arthriti, dan lain-lain), otot-otot mungkin akan terasa sakit, tetapi tidak cedera (jika cedera periksalah keadaan ke dokter), latihan kekuatan dapat membuat persendian bekerja lebih baik dan mengurangi rasa sakit dari arthritis, tubuh manusia sudah tercipta untuk bergerak, santai dan senangkanlah diri kita.

Menurut Sadoso Sumosardjuno (Kompas, 16 Juni 2002) berolahraga memang membantu menghambat proses menua yang cepat. Lansia biasanya mengalami berbagai macam penyakit kalau mereka tidak pernah melakukan aktivitas fisik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Berolahraga teratur dapat meningkatkan kemampuan dan kemauan seksual seseorang, kulit tidak cepat keriput, dan membantu usaha mengurangi faktor risiko berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner, diabetes tipe II, dan kolesterol tinggi. Sadoso Sumosadjuno juga mengemukakan selain itu, latihan olahraga membuat kecepatan reaksi seseorang lebih baik, membuat tulang lebih elastis sehingga tidak mudah patah tulang, dan memperkuat otot. Pada usia 30-70 tahun, otot manusia mengecil sampai 40 persen. Akibatnya, kekuatan menurun, mudah jatuh, dan keseimbangan tubuhnya turun, tetapi dengan berolahraga, menurunnya tidak drastis.

Olahraga aerobik saja tidak cukup, perlu diikuti dengan latihan kekuatan, dan akan lebih sempurna lagi bila ditambah dengan latihan perimbangan dan latihan peregangan. Selain itu, berolahraga jalan kaki dan jogging juga sangat baik untuk kebugaran tubuh dan relatif aman bagi para lansia karena menghindari risiko cedera lutut. Para lansia yang sebelumnya tidak pernah berolahraga, disarankan agar latihan dilakukan secara bertahap, baik intensitas, lama, dan frekuensi. Tujuannya, memberi kesempatan tubuh beradaptasi pada beban latihannya. latihan olahraga untuk para lansia juga harus dilakukan dengan takaran cukup (Sadoso Sumosardjuno, Kompas, 16 Juni 2002). Selain itu juga para lansia diharapkan mengetahui karakteristik Olahraga Kesehatan secara teknis-fisiologis seperti yang diungkap oleh Giriwijoyo dan Komariah (2002: 12), yaitu: (1) gerakannya sub-maksimal, (2) kontinue (tanpa henti) minimal 10 menit, (3) bebas Stress (non kompetitif), (4) frekuensi 3-5 kali/minggu, (5) intensitas antara 60 – 80 % denyut nadi maksimal (DNM) sesuai umur. Hampir sama dengan karateritik olahraga kesehatan secara teknis-fisiologis, rumus FITT (Frekuensi, Intensitas, Tempo, Tipe latihan) dapat digunakan sebagai patokan menuju pada kesegaran jasmani. Penerapan rumus tersebut sebagai berikut, Frekuensi 3 – 5 kali/perminggu, Intensitas 60 – 95 % denyut nadi maksimal, tempo 20 – 30 menit, dan tipe latihan berlanjut atau ritmik.

Berbagai bentuk latihan olahraga dapat dilakukan oleh para lansia diantaranya adalah jalan cepat, bersepeda, senam, tenis meja, dan renang (Wibowo dalam Harsuki, 2003: 278-279). Nobou Takeshima dan Michael E. Rogers melakukan penelitian dengan mengombinasikan aerobik air, berjalan dan menari di air, dengan kekuatan berlatih sesungguhnya dalam air. Para partisipan mengangkat beban saat mereka berada di air. Rata-rata, latihan air meningkatkan kekuatannya sebanyak 27% otot paha, 40% pada otot lengan, dan sekira 10% bagian atas tubuh. peningkatan kekuatan ini adalah resistansi yang dapat dialami lebih mudah di air daripada di darat (Pikiran Rakyat, 3 Agustus 2003). Selain itu juga ditemukan bahwa olahraga air yang dilakukan para lansia yang mengalami masalah di otot dan persendian, kehangatan, kemampuan mengapung, dan resistansi air tampaknya memberi tantangan pada tubuh sekaligus mengurangi ketegangan di area-area yang bermasalah. Setelah beberapa saat berolahraga air, tampaknya orang mengalami penurunan rasa sakit, kemampuan kerja sehari-hari yang bertambah, dan tentunya peningkatan kualitas hidup yang jelas terlihat (Pikiran Rakyat, 3 Agustus 2003).

BAB III

KESIMPULAN

Kondisi kesehatan memungkinkan untuk beraktivitas lebih baik maka sebaiknya dicari kegemaran atau hobi yang paling disukainya, terutama sekali hobi yang sejak mudanya dulu telah ditekuni, agar lansia memiliki kegiatan yang memikat hatinya. Jika lansia mempunyai hobi maka mereka lebih mudah mendapat kawan yang sama kegemarannya, yang dapat diajak berdiskusi dan saling kunjung mengunjungi sehingga dapat mengatasi kesepian atau dukacita yang dalam. Biasanya diskusi di antara orang-orang yang mempunyai hobi yang sama akan sangat mengasyikkan dan tak habis-habisnya karena minat mereka yang sama, sehingga menggairahkan semangat lansia sebagai pengisi waktu yang menyenangkan. Jika kondisi tubuh membaik, pikiran tenang, senang, punya hobi dan ada teman-teman yang diajak berdiskusi maka dengan sendirinya nafsu makanpun bertambah, terlebih jika didukung oleh olahraga, sehingga tubuh selalu fit dan tidurpun lebih nyenyak. Konsumsi sayur mayur dan buah-buahan segar harus ditingkatkan, sebaliknya rokok dan alkohol dihindari. Tidur siang sebaiknya dilakukan secukupnya saja, karena jika berlebihan akan menyebabkan pada malam hari tidur tidak nyenyak, sehingga pagi harinya badan terasa loyo dan mudah diserang rasa ngantuk dan penyakit. Oleh karena itu, perlu dibenahi pola tidurnya. Jika hal-hal di atas dilakukan maka mudah-mudahan tidak ada lagi lansia yang merasa bosan hidup dan ingin meninggal saja. Sebaliknya, gairah hiduplah yang harus selalu dipupuk dan disyukuri, karena Tuhan masih menganugerahkan usia yang panjang kepada para lansia dan segala kesenangan hidup yang dapat dinikmati. Lansia bukan berarti hanya dicekam kesepian, kebosanan dan menunggu saat datangnya ajal, tetapi harus selalu diisi dengan kegiatan yang bermakna dan menyenangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Giriwijoyo, Santosa dan Komariyah, Lilis. 2002. Olahraga Kesehatan dan Kesegaran Jasmani pada Lanjut Usia. Bandung. Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia.

Harsuki. 2003. Perkembangan Olahraga Terkini: Kajian Para Pakar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Kompas Cyber Media. Tetap Sehat dan Bugar Sampai Lansia. Minggu, 16 Juni 2002. Available on line at www.kompas.com.

Martono, Hadi dan Darmoy, R. Boedhi. 2005. Latihan dan Olahraga pada Lansia Mencegah Beberapa Penyakit. Yayasan Jantung Sehat. Available online at http://id.inaheart.or.id/?p=16.

Pikiran Rakyat. Olahraga Air Untuk Lansia. Minggu, 3 Agustus 2003. Available on line at www.pikiran-rakyat.com/cetak/0803/03/1003.htm.

Sarwono, Solita dan Koesoebjono, Santo.2004. Panjang Umur Belum Tentu Bahagia (Long Life Does Not Mean Happy Life). Suara Pembaruan. 1 Oktober 2004.

Siburian, Prima, 2006. Mengenal Lansia yang Mudah Terserang Penyakit. WASPADA Online, 28 Agustus 2006. Available on line at http://www.waspada.co.id/serba_serbi/kesehatan/artikel.php?article_id=79402

Suara Merdeka Cyber News. 2006. Tetap Fit di Usia Tua. Suara Merdeka, 23 Agustus 2006. Availabel on line at www.suaramerdeka.com.

The American Society on Aging. 2002. Live Well, Live Long: Health Promotion and Diseasea for Older Adult. Available on line at

www.asaging.org/cdc/module6/phase2/phase2_14.cfm - 1

Wahyuni, Dwi. 2003. Identifikasi Kebutuhan Lansia. Penelitian. Puslitbang KS-PKP BKKBN. Available on line at

http://www.bkkbn.go.id/ditfor/research_detail.php?rchid=14.

PEMBEBASAN TUBUH WANITA: SUATU STUDI PERBANDINGAN WANITA DAN OLAHRAGA DI BARAT DAN TIMUR

Oleh:

Akhmad Sobarna

Ketertarikan pada tubuh telah menyapu seperti angin topan ke seberang bidang ilmu sosial dan studi budaya sejak tahun 1980-an. Buku dan Artikel tentang tubuh telah diterbitkan dan jurnal mengenai tubuh sudah terlihat. Tubuh telah menjadi suatu topik bahasan pada banyak konferensi. Sebagai konsekuensi, Kathy Davis mengklaim: “Tubuh dengan jelas telah menangkap imajinasi dari para mahasiswa sekarang ini”. Ada dua pertimbangan utama untuk ini. Pertama, hal ini merupakan suatu kebutuhan logis dari analisa budaya, sebab tubuh adalah “hanya tetap pada perubahan dunia yang cepat, sumber kebenaran pokok mengenai siapa kita dan bagaimana masyarakat dibentuk, penengah akhir dari apa yang adil dan tak adil, manusia yang baik dan tidak baik, progresif dan retrogressive”. Singkatnya, studi tubuh menawarkan suatu titik awal bermanfaat untuk penyelidikan sekarang dan sejarah budaya kita dan masyarakat. Kedua, secara bantahan, sebagian besar feminist sudah menempatkan tubuh pada peta intelektual. Pada dua dekade masa lalu suatu jumlah yang mahabesar dari penelitian feminist pada tubuh wanita telah dihasilkan dari keanekaragaman disiplin, metodologi dan perspektif teoritis. Tubuh wanita telah menjadi bahan banyak studi empiris dari kendali reproduktsi dan tekanan setelah kelahiran ke anorexia nervosa dan menopause.

Bagaimanapun, Ann Hall telah menunjukkan bahwa ‘Tubuh Wanita selalu menjadi pusat ke feminisme, tetapi tubuh olahraga tidak’ bukan hanya tubuh olahraga tetapi juga tubuh dalam olahraga yang nampak menyikapi masalah nyata untuk tendensi feminisme dan studi wanita. Satu penjelasan telah dikemukakan untuk ini: penyimpangan intelektual dalam budaya barat. Budaya tradisional tinggi telah membuat berkurangnya perbedaan antara permainan dan pekerjaan dan antara kegiatan jasmani dan intelektual. Olahraga telah dipandang biasa. Di lain kata, Karena olahraga adalah lebih bersifat fisik daripada aktivitas mental, hal itu telah dipandang sebagai sesuatu yang turun dari kebudayaan dan tidak layak menjadi perhatian yang serius. feminist tidak ada perkecualian untuk pandangan ini. Mereka lebih tertarik pada perjuangan wanita secara politis dan kemerdekaan ekonomi mereka dibanding kebebasan fisiknya. Konsekuensinya, berbagai penelitian mengenai tubuh wanita dalam olahraga telah, dan dimarjinalkan. Bagaimanapun, Bryan S. Turner telah membantah dengan penuh pengertian bahwa “permasalahan dalam tubuh bukan sekedar suatu isu dalam epistemology dan fenomenologi, tetapi suatu penempatan teoritis untuk perdebatan tentang kekuasaan, ideologi dan ekonomi”. Terlalu banyak feminist sudah melewatkan fakta bahwa untuk wanita, olahraga telah menjadi suatu instrumen pembebasan. Ini adalah bukan suatu pernyataan dilebih-lebihkan. Roberta Park telah menyatakan dengan tepat bahwa ‘emansipasi wanita modern berhubungan intim dengan kemampuan atletiknya dan pasti dengan fisiknya’.

Dengan tujuan memperdalam pemahaman arti tubuh wanita dan olahraga, dan peran wanita dalam olahraga dalam warisan budaya masyarakat modern, mahasiswa dari disiplin seperti sejarah, sosiologi, psikologi sosial dan pendidikan jasmani baru-baru ini sudah memproduksi suatu perkembangbiakan studi budaya dan sejarah yang berhadapan dengan tubuh wanita. Mereka telah menunjukkan suatu peningkatan minat dalam peran olahraga sebagai alat pemeliharaan, pembentukan, dan pengantar gambaran jasmani dan nilai moral. Tubuh dalam olahraga dan tubuh wanita khususnya adalah suatu tempat untuk perdebatan tentang perubahan alami ideologi, kekuasaan, sistem budaya dan struktur sosial. Sejarah wanita olahraga adalah suatu sejarah mengenai perjuangan wanita untuk membebaskan tubuh mereka pada berabad-abad yang lalu. Keterlibatan dalam olahraga telah menandakan keinginan wanita untuk berubah. Pembebasan tubuh mereka telah, dan merupakan, suatu kebutuhan utama untuk fisik mereka yang lebih luas, sosial, kebebasan budaya, politik dan ekonomi.

Seperti yang telah diungkap diawal, sekarang ada sejumlah besar publikasi di persembahkan untuk wanita, tubuh mereka dan olahraga mereka. Niatnya disini adalah secara singkat merujuk pada enam buku dengan suasana runutan baru past-have yang aktual, merangsang minat yang kuat dan mendorong penyelidikan pada wanita dalam olahraga yang maju. Pada 1987, J.A. Mangan dan Roberta Park telah menyajikan suatu awal, karya yang menimbulkan pemikiran dan mungkin berkembang yang diberi judul Dari ‘Wanita’ ke Feminisme: Olahraga dan Sosialisasi Wanita pada Jaman Industri dan Post-Industri. Hal itu dibawa bersama berbagai mahasiswa terkemuka dalam suatu pertimbangan perspektif terpisah sampai sekarang atas studi wanita-wanita dalam sejarah sosial olahraga dan menarik penelitian dari Inggris, Amerika Utara, dan Australia. Buku yang dengan kritis menentang mitos tubuh wanita. Sementara itu dibantah bukti diri bahwa tubuh wanita secara sosial dibangun secara alami ini dibantah lebih lanjut bahwa mereka pada hakekatnya dibentuk oleh budaya. Volume menunjukkan bahwa sukses dalam olahraga dan kekuasaan fisik yang didekatkan diajukan suatu ancaman serius ke tempat rendahan wanita tradisional dalam masyarakat patriarkal, dan bahwa olahraga telah memainkan suatu peran penting dalam menanggulangi mitos mengenai tubuh wanita pada masyarakat barat. 'itu menandai... suatu batas air pada beasiswa dalam sejarah olahraga wanita sepanjang tahun 1980-an dengan memusatkan pada analisis hakekat dibanding deskripsi.

Hubungan antara analisis tubuh wanita, latihan dan feminist dengan baik dicakup dalam buku grounded-breaking pertama Patricia Vertinsky Perempuan yang terluka abadi: Wanita, Para doktor, dan Latihan di Abad ke sembilan belas pada tahun 1990 dan kemudian artikelnya ‘Konstruksi sosial tubuh gender: Latihan dan Kekuasaan Latihan’ pada 1994. Dia membahas pengaruh kepercayaan medis akhir abad ke sembilan belas pada resiko yang dirasa dan keuntungan-keuntungan latihan wanita, dan mengungkapkan bagaimana determinasi biologi suatu ideologi jahat yang membangun dan melahirkan tubuh gender dalam olahraga. Dia berargumentasi bahwa profesi medis mengidealkan wanita sebagai sarana reproduksi dan berpusat pada patologi, pembatasan dan kecacatan, melukiskan tubuh wanita sebagai kegagalan pemakaian organisma yang bertubuh penyakit masyarakat. Dia mengusulkan bahwa proses gabungan penuh pria ‘ahli’ dalam kedokteran, ilmu dan pendidikan latihan kontrol tubuh wanita adalah pusat analisis konstruksi sosial gender dan tubuh. Dia menulis pada 1994: ‘tubuh, tubuh sexed, telah menjadi ajang penelitian tertentu dan menteorikan kembali dalam kaitan dengan kemampuannya untuk menyediakan penjelasan pada sosial wanita ditingkat bawah dan sebagai jalan dalam usaha memahami wanita untuk mengubah bentuk dan mengubah rupa batasan dan pembatasan kondisi historis.

Dalam explorasi mereka hubungan antara wanita, olahraga dan tubuh pada budaya barat, para mahasiswa wanita menawarkan teori sosial tubuh dimana gender dan kekuasaan adalah intinya. Pada 1994 buku Jennifer HargreavesWanita Olahraga: Isu Kritis dalam sejarah dan sosilogi olahraga wanita’ dipaparkan suatu analisa menyeluruh keluasan olahraga wanita telah, merupakan, dan akan, menjadi suatu alat radikalisme dan penindasan. Dia membantah: ‘Sejarah mengenai olahraga wanita menunjukkan hubungan yang patriarkal pada mereka sendiri yang tidak menjelaskan wanita ditingkat bawah. Olahraga wanita integral kepada keseluruhan hubungan kekuasaan budaya. Penjelasannya secara langsung untuk ini: olahraga dapat menjadi arti penting emansipasi dan merupakan, karena itu, suatu konteks kritis untuk intervensi wanita. Dia telah membahas konsep tubuh, kebebasan dan pembatasan yang sangat penting untuk memahami tinjauan sejarahnya, dan untuk refleksi yang luas pada tema wanita jaman sekarang dan pemberdayaan jasmani, keerotikan, diskriminasi, dan keanekaragaman dalam olahraga.

Pada 1996 buku Ann Hall Feminisme dan tubuh Olahraga: Esei dalam Teori dan Praktek menaruh tubuh wanita olahraga ke dalam konteks berlawanan dan agenda teoritis feminst terbatas. Itu adalah buku pertama yang mencoba untuk membawa teori feminist dihubungkan dengan studi wanita mengenai tubuh olahraga dalam suatu cara yang sistematis. Menurut pandangannya, secara logis untuk memahami wanita dan olahraga diperlukan untuk memahami feminisme dan penerapannya pada tubuh, tekanan dan emansipasi. Bagaimanapun, Hall berargumentasi bahwa kita ada dalam suatu jaman teoritis baru, dimana teori feminist tidak cukup untuk kita pahami dan analisa dulu dan sekrang. Kita memerlukan teori dari studi budaya, sosiologi dan studi sejarah, dan kita harus membangun teori baru kekuasan, praktek sosial dan perjuangan budaya. Dia mengklaim: “Teori meningkatkan tingkatan kesadaran kita dan membantu kita untuk menyediakan suatu tinjauan yang berkelanjutan budaya kita, dalam hal ini, budaya olahraga kita”.

Selagi mahasiswa feminist sibuk menyelidiki keanekaragaman yang maha besar dalam penampilan dan comportment tubuh wanita pada budaya barat. Buku Fan Hong Footbinding, Feminisme dan Kebebasan: Pembebasan tubuh Wanita di China Modern telah mengkaji budaya dan tubuh wanita di Timur. Penelitiannya atas tubuh dalam olahraga di Negeri China mengungkapkan betapa tak dapat dipertahankan dugaan ' tubuh alami wanita' itu. karyanya mempertunjukkan bahwa tubuh wanita adalah suatu titik awal ideal untuk segala pertimbangan sosial dan constructionisme budaya. Dia telah mengkaji hubungan antara tubuh wanita, latihan, dan emansipasi di China dan mencoba untuk menilai dampak olahraga wanita pada status wanita dalam Masyarakat Cina. Tradisi patriarkal yang brutal dan dramatis penindasan fisik tubuh wanita- footbinding- dalam Sejarah Cina membuat kebebasan fisik untuk Wanita Cina suatu isu arti khusus dan studi kasus yang berharga dalam sejarah emansipasi tubuh wanita modern.

Keseimbangan ini, secara kebetulan, ‘orang luar’ dan ‘orang dalam’ mempunyai kebaikan khusus. Hal ini membantu menghindari ‘Pere David Syndrome’ tentang ‘penemuan’ asing tentang berbagai hal yang berasal dari cina sudah mengetahui tentang dan] lebih baik dipahami untuk generasi, dan itu memperbolehkan pertimbangan yang sulit dipisahkan isu ‘buram’ kadang-kadang tanpa disadari tak dapat dipahami pada pandangan dari luar. Untuk menafsirkan Fanon, ' penduduk baru', budaya atau cara lainnya, ketika penulisan bangsa asing tanpa alternatip menulis sejarah bangsanya sendiri.

Sementara itu Eunha Koh, seorang mahasiswa Korea, telah menerbitkan artikelnya yang berjudul “Kebangkitan Olahraga Wanita dan Rekonstruksi Identitas gender di Korea Selatan” pada tahun 2002. Dia menunjukkan bahwa ada pengaruh Confucianisme yang mendorong pembatasan olahraga wanita dan aktivitas jasmani. Confucianisme dengan keras membagi domestik dan peranan sosial laki-laki dan perempuan dan menggambarkan kaum wanita sebagai subordinat kepada kaum laki-laki dalam masyarakat. Diskriminasi ini bekerja untuk menyembunyikan tubh wanita dari pandangan masyarakat. Hasilnya, keikutsertaan wanita-wanita di (dalam) olahraga tidaklah dicocokkan dengan moral sosial perilaku jasmani. Olahraga saat ini masih dihormati sebagai bagian dari alam laki-laki, dan kecenderungan perlawanan olahraga wanita telah dihapuskan.

Pada tahun 2001 beberapa mahasiswa Jepang yang dipimpin oleh Takako lida melakukan suatu survei atas situasi sekarang olahraga wanita di beberapa 14 Negara Asia. Survei itu mengangkat beberapa isu utama sebagai berikut:

Angka partisipasi: secara umum, tingkat partisipasi dalam olahraga di negara Asia lebih rendah dari beberapa negara Eropa dan Amerika Utara. Diantara 14 negara Asia angka rata-rata 40%. Canada 86% dan Finlandia 73%. Angka partisipasi wanita Asia lebih rendah dari laki-laki. Yaitu 35.9% dibandingkan dengan laki-laki 45.2%.

Program dan fasilitas olahraga: kaitannya dengan sejarah, budaya dan pertimbangan agama, anak-anak perempuan dan wanita di Negara-Negara Asia memerlukan dorongan tertentu untuk keikutsertaan mereka dalam olahraga. tetapi, kebanyakan dari negara-negara tidak mempunyai program khusus untuk anak-anak perempuan dan wanita. Ketika beberapa diantara mereka ambil bagian mereka sering menemukan bahwa fasilitas olahraga dan kesenangan tidak cukup.

Pendidikan Jasmani di sekolah: diskriminasi gender di sekolah terus menerus diperkenalkan. Anak perempuan dan lelaki diperlakukan dengan cara yang berbeda di kelas pendidikan jasmani dan mereka didukung dan diajar untuk bermain olahraga yang berbeda: anak lelaki untuk olahraga laki-laki, seperti sepakbola dan anak perempuan untuk aktivitas yang feminin, seperti menari.

Kepemimpinan dalam olahraga: pada level eksekutif NOC (Komite Olimpiade Nasional) Wanita 18.4% dan pria 82.6%. Semua presiden NOC di Asia adalah pria. Beberapa negara-negara, seperti; Filipina dan Sri Lanka, tidak punya wakil wanita sama sekali di NOC. Sebagai tambahan, kebanyakan dari pelatih dan instruktur adalah pria.

Bagi perempuan, keikutsertaan dalam olahraga, baik pada tingkat bawah dan tingkat internasional dapat menaikkan harga diri, meningkatkan kepercayaan dan kemampuan memimpin dan meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan umum. Ini adalah kekuasaan olahraga. Hal itu telah dikenali oleh beberapa organisasi yang paling berpengaruh di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah dengan kuat menempatkan wanita dan olahraga dalam konteks hak azasi manusia. pada 1995 ketika Konferensi wanita Dunia keempat PBB yang bertempat di Beijing wanita dari seluruh penjuru dunia bekerja bersama-sama untuk mencapai satu pernyataan sesungguhnya pada nilai olahraga untuk anak perempuan dan wanita dalam Platform untuk Tindakan.

Platform untuk Tindakan meminta pemerintah, regional dan organisasi intemasional untuk memastikan kesempatan yang sama untuk wanita dan anak perempuan dalam budaya, yang berkenaan dengan rekreasi dan aktivitas olahraga, seperti halnya keikutsertaan dalam atletik dan aktivitas jasmani pada tingkat nasional, internasional dan regional, seperti akses, pelatihan, kompetisi, penggajian dan hadiah.

Sembilan tahun lalu, bagaimanapun, situasi mempunyai suatu perubahan sedikit. Banyak wanita masih mengalami exploitasi dan diskriminasi politis, ekonomi dan fisik dalam dunia olahraga. " Kita jangan beralih dari mengubah dunia mengubah kata", Sivanandan berpendapat pembebasan fisik wanita adalah suatu yang tindakan politis yang berkaitan dengan "mengubah dunia", suatu dunia dimana hubungan dan ketidaksamaan gender berlanjut menjadi penting dan nyata pada tingkat kelembagaan dan perorangan. Oleh karena itu, Scraton mengklaim bahwa kita harus memusatkan teori bantahan kita di sekitar tubuh wanita, ketidaksamaan, sistem exploitasi dan tekanan dalam olahraga.

Penelitian selama dekade yang lampau telah menawarkan kita suatu pemahaman proses dimana tubuh wanita menjadi diseksualisasikan, terhimpit, dan dikendalikan. Lebih penting lagi, hal itu telah menunjukkan bagaimana olahraga secara berlawanan memainkan peran penting dalam memperkuat status quo dominasi laki-laki ketika emansipasi wanita dari penindasan tradisional di dunia barat dan timur.

Penelitian terhadap tubuh, wanita dan olahraga telah membuka suatu bidang baru untuk para mahasiswa Asia. Analisa berasal dari Asia telah membantu, dan akan membantu, mengubah dominasi tradisional dari Teori kemasyarakatan dan sejarah olahraga asia Anglo-American. Sebab Wolfran Manzenreiter telah menunjukkan: "memahami dan memasukkan cara yang berbeda terhadap tubuh merupakan pengalaman yang akan mempunyai konsekuensi penting untuk teori dan pandangan umum pada olahraga dan hubungannya dengan tubuh, dan akan mendorong ke arah suatu konseptualisasi olahraga yang tidak hanya didasarkan pada Analisa dan Pengalaman barat. Pemasukan sudut pandang dari analisis olahraga lokal asia akan menyempurnakan perubahan dalam perspektif yang akan menguntungkan untuk pengembangan teori lebih lanjut pada konsep penting dan struktur sejarah olahraga dan sosiologi.

Persepsi dan Pandangan Mengenai Artikel

Berdasarkan artikel yang ditulis Fan Hong bahwa Body diartikan sebagai tubuh yang bukan hanya sebuah raga dengan struktur anatomis dan fisiologis saja tetapi lebih dari itu tubuh mempunyai jiwa yang tidak mungkin terpisahkan dari raga itu sendiri. Keduanya merupakan suatu kesatuan yang utuh dan dipersepsikan sebagai seorang manusia yang juga memberikan makna sosial. Tubuh wanita memang menjadi kajian yang sangat menarik, karena adanya berbagai pandangan terhadapnya sampai saat ini. Masa lampau menggambarkan begitu fanatisnya masyarakat dunia terhadap tubuh wanita yang memang selalu diberikan tempat lebih rendah dari laki-laki. Keinginan para wanita untuk membebaskan dirinya agar dapat mensejajarkan diri dengan kaum laki-laki yaitu dengan mengubah berbagai pandangan mengenai tubuhnya.

Olahraga sebagai sebuah kegiatan yang notabene dianggap masyarakat sebagai kegiatan dominasi kaum pria memberikan inspirasi bagi wanita untuk dapat berpartisipasi didalamnya dengan maksud mengubah pandangan itu. Keterbatasan yang dimiliki oleh tubuh wanita menjadi sebuah cambuk bagi para wanita untuk berusaha melawan semua itu. Sehingga keterlibatan wanita dalam olahraga telah menandakan keinginan wanita untuk berubah. Pembebesan tubuh wanita merupakan suatu kebutuhan utama untuk fisik mereka yang lebih luas, sosial, kebebasan budaya, politik dan ekonomi. Hal ini berarti bahwa olahraga bagi wania bukan hanya sebatas pembentukan tubuh mereka secara fisik tetapi juga akan membentuk pandangan kaum pria dan masyarakat terhadap status sosial mereka, selain itu juga merupakan alat yang sejajar dengan keterlibatan mereka dalam politik dan ekonomi.

Wanita berpartisipasi dalam olahraga juga berkeinginan untuk dapat menaikkan harga diri, meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan memimpin dan juga meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan umum. Sehingga pemerintah, organisasi regional internasional harus dapat memberikan kesempatan yang sama untuk wanita dan gadis dalam budaya, yang berhubungan dengan rekreasi dan aktivitas olahraga, seperti halnya keikutsertaan dalam olahraga dan aktivitas jasmani pada tingkat nasional, regional, dan internasional, seperti akses, pelatihan, kompetisi, penggajian, dan hadiah.

Ada perbedaan yang cukup siginifikan keterlibatan wanita dalam olahraga di negara-negara timur (Asia) dan negara-negara barat (Eropa dan amerika). Dari sebuah survei yang dituliskan dalam artikel tersebut menerangkan bahwa secara umum tingkat partisipasi dalam olahraga di negara-negara asia lebih rendah dari beberapa negara eropa dan amerika utara. Di negara-negara Asia, program olahraga untuk para wanita dan gadis lebih banyak dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan pertimbangan agama, sehingga perkembangannya memerlukan dorongan tertentu. Kemudian, pada tingkat pendidikan jasmani di sekolah masih sering terjadi diskriminasi gender, yang diperlihatkan dengan pemisahan jenis kelamin dalam melakukan berbagai kegiatan aktivitas jasmani. Selain itu juga diungkap bahwa para wanita dalam komite olahraga nasional dari negara-negara Asia sedikit yang menduduki kepengurusannya, semua ketua komitenya adalah pria dan beberapa negara bahkan ada yang tidak mempunyai wakil wanita dalam kepengurusan komite tersebut.

Analisis hubungan artikel dengan isu-isu di Indonesia

Masih kentalnya adat istiadat dan juga kehidupan agama di Indonesia berpengaruh besar terhadap tingkat partisipasi Wanita dalam olahraga. Dewasa ini para wanita telah banyak terlibat dalam beberapa kegiatan olahraga, tetapi pandangan secara umum mengenai olahraga dari masyarakat Indonesia adalah bahwa olahraga merupakan kegiatan yang hanya dimiliki kaum pria. Masyarakat masih “tabu” memberikan kebebasan pada anak gadisnya untuk terlibat dalam olahraga secara aktif. Mereka masih beranggapan bahwa wanita hanya boleh terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang lebih bersifat feminisme saja, seperti: mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengurus anak dan lain-lain. Secara umum juga dapat kita lihat bahwa para wanita terlibat dalam olahraga karena mereka mempunyai tujuan yang berbeda-beda, terutama bagaimana mereka bisa menjaga keindahan tubuhnya. Hal ini berarti bahwa para wanita menginginkan tubuh yang ideal dan proporsional. Keadaan inilah yang sepertinya menjadi “malapetaka” bagi para wanita karena, dengan tujuan demikian berarti mereka telah menempatkan dirinya dibawah kekuasaan para pria. Secara fisik, wanita dengan tubuh yang sempurna merupakan dambaan para pria. Sehingga para wanita melalui olahraga berlomba-lomba membentuk tubuh mereka agar terlihat indah.

Saat ini di Indonesia, keterlibatan para wanita dalam olahraga masih belum dianggap sebagai suatu emansipasi mereka. Para wanita Indonesia lebih menganggap keterlibatan dalam politik dan karir merupakan jalan emansipasinya. Padahal kalau kita lihat bahwa dengan terlibat dalam olahraga para wanita akan menjadi sejajar dengan pria. Sebagaimana ketika Susi Susanti, atlit bulutangkis wanita Indonesia menyabet medali emas Olimpiade Atlanta, dia mendapat penghargaan yang sama dengan Alan Budikusuma, atlit bulutangkis pria Indonesia yang juga menyabet emas olimpiade tersebut. Contoh ini seharusnya menjadi refleksi bagi para wanita bahwa emansipasi tidak harus melalui keterlibatannya dalam dunia politik dan karir yang harus dia capai melebih pria. Melalui olahraga, wanita akan mendapatkan emansipasinya karena sifat olahraga yang sangat universal dan lebih dianggap sebagai “dunia kaum pria” itu menjadi jalan pembuktian bahwa mereka bisa mencapai prestasi dan prestise yang sejajar dengan para pria.

Analisis dan pandangan

Meskipun para wanita sekarang ini telah banyak yang ikut terlibat dalam beberapa kegiatan olahraga, tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa olahraga merupakan kegiatan yang kurang pantas dan cocok untuk wanita. Adanya bukti secara nyata bahwa tubuh wanita tidak diciptakan untuk melakukan kegiatan “keras” seperti olahraga memberikan validasi pada anggapan-anggapan itu. Perbedaan secara anatomis yang dapat dilihat secara nyata juga memperlihatkan perbedaan secara fisiologis. Perbedaan ini menyebabkan pria lebih mampu melakukan kegiatan jasmani dan olahraga yang memerlukan dimensi lain yang besar (Giriwijoyo & Komariah, 2006: 178). Wanita memiliki suatu kejadian yang secara fisiologis dianggap sebagai penghambat wanita berolahraga. Kejadian itu disebut menstruasi. Menstruasi dirasakan menjadi faktor penghambat wanita beraktivitas dalam olahraga. Padahal menurut Giriwijoyo dan Komariah (2006: 181) diterangkan bahwa pada umumnya wanita dapat menikmati kegiatan fisik mereka baik bersifat rekreasi maupun kompetisi tanpa terpengaruh oleh pola menstruasi mereka. Sehingga sebenarnya tidak ada halangan bagi wanita untuk terlibat dalam olahraga dari segi fisik mereka, bahkan perbedaan fisik itu sebenarnya bisa diubah oleh kegiatan jasmani (Giriwijoyo & Komariah, 2006: 178). Dengan begitu jelas bahwa tubuh wanita dari dimensi fisik nyata memberikan pengaruh kuat untuk terlibat aktif dalam olahraga.

Tubuh wanita secara sosial sebenarnya yang mempengaruhi keterlibatan mereka dalam olahraga. Adanya perbedaan bersosialiasi antara laki-laki dan wanita mempengaruhi pemilihan cabang olahraga di antara keduanya (Sutresna dalam Harsuki, 2003: 254). Hal ini memperlihatkan bahwa wanita akan lebih memilih olahraga yang lebih sesuai dengan tingkat sosialiasi yang mereka dengan mempertimbangkan kemampuan fisik mereka dan tujuan mereka untuk berolahraga. Olahraga lebih menekankan pada Body Contact mungkin akan dijauhi para wanita, sedangkan olahraga yang lebih menekankan pada faktor keindahan dan kelentukan tubuh akan dipilih wanita. Seperti yang diungkap Sutresna dalam (Harsuki, 2003: 255) bahwa kekerasan sering diartikan sebagai lambang masculinities. Sehingga anggapan inilah mengakibatkan perbedaan pemilihan aktivitas jasmani oleh wanita, terutam dikaitkan dengan kehidupan sosial dan nilai sosial yang ada di masyarakat.

Keterlibatan wanita dalam olahraga memang saat belum dianggap sebagai bentuk emasipasi. Kesetaraan gender yang diinginkan wanita sebenarnya dapat dilakukan melalui olahraga. Seperti telah diungkap bahwa olahraga yang dianggap sebagai dunia pria bisa menjadi wahana bagi wanita untuk mensejajarkan dirinya dengan pria. Tuntutan yang ada dalam olahraga untuk dapat berpartisipasi membutuhkan kemampuan yang luar biasa dari para wanita. Mereka bukan hanya akan berhadapan dengan tantangan fisik yang ada tetapi juga mental dan sosial mereka. Tekanan itulah yang sebenarnya dapat dijadikan wanita pegangan untuk berpartisipasi dengan memperkuat keadaan yang ada dalam dirinya. Mental dan sosial yang sering dianggap lemah bisa diperlihatkan dengan prestasi yang tinggi dalam berbagai even olahraga. Karena pencapaian prestasi pada even yang semakin tinggi tingkatannya akan memperlihatkan begitu kuatnya mereka. Bahkan parameter fisiologik wanita yang berlatih dapat melampaui parameter pria yang kurang terlatih (Giriwijoyo & Komariah, 2006: 178). Hal ini jelas bahwa wanita yang terlibat aktif dan berprestasi dalam olahraga akan mensejajarkan diri dengan pria dan bahkan melebihinya.

Emansipasi wanita yang lebih diarahkan pada pencapaian karir pekerjaan dan politik sebenarnya akan lebih efektif jika melalui olahraga. Begitu perkasanya para pria dipentas olahraga prestasi telah membangkitkan kaum wanita untuk ikut berprestasi dalam bidang tersebut. Hartono (1999: 225) menyebutkan bahwa pertandingan olahraga yang dilakukan wanita di Amerika terjadi setelah adanya revolusi jerman tahun 1849 sampai tahun 1910, tahun 1920 terjadi pertentangan yang berakibat pada berakhirnya partisipasi wanita dalam olahraga dan tahun 1950-an muncul trend yang memulai kembali keterlibatan wanita dalam olahraga.

Referensi

Fan Hong. 2004. Freeing The Female Body: Women and SportiIn The West and East A Comparative Study. Presented at International Conference of Asian Society for Physical Education and Sport (ASPES). 22 – 24 July, Bandung, Indonesia.

Hartono, Soetanto. 1999. Sebuah Reviu Mengenai Masalah Wanita dan Olahraga. Perkembangan Olahraga Terkini: Kajian Para Pakar. Page 225-243. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Sutresna, Nina. 1999. Wanita dan Olahraga Fenomena Sosial. Perkembangan Olahraga Terkini: Kajian Para Pakar. Page 253-267. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Kartinah, Neng Tine, Komariyah, Lilis, Giriwijoyo, Santosa. 2006. wanita dan olahraga. Sport Medicine.

The President's Council on Physical Fitness and Sports Report. 1997. Physical Activity & Sport in the Lives of Girls. The Center for Research on Girls & Women in Sport University of Minnesota.