Friday, February 8, 2013

STRES PASCA TRAUMA PADA ANAK USIA DINI KORBAN BENCANA ALAM (Sudut Pandang Psikologi Dan Fisiologi)




STRES PASCA TRAUMA PADA ANAK USIA DINI KORBAN BENCANA ALAM
(Sudut Pandang Psikologi Dan Fisiologi)
Akhmad Sobarna, M.Pd
ABSTRAK
Peristiwa gempa bumi yang terjadi di wilayah Indonesia menimbulkan permasalahan, seperti pengungsian dan kerusakan infrastruktur tetapi peristiwa gempa tersebut dapat menimbulkan trauma dan penurunan sistem immun dalam tubuh. Trauma yang diderita dan masih tersimpan dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan stres pasca trauma terutama pada anak-anak.
Stres pasca trauma yang timbul dapat merubah perilaku seseorang yang telah mengalami peristiwa traumatis. Khususnya pada anak-­anak kejadian peristiwa traumatis dapat merubah perilaku bahkan dapat menghambat perkembangan baik dalam kehidupan sosial, akademis dan psikologisnya.
Selain timbulnya stress berpengaruh juga pada sistem fisiologi, terjadinya perubahan pada sistem aktifas yang mengeluarkan glukokortikoid (kortisol) dari kelenjar adrenal dalam tubuh, sehingga perubahan tersebut jika terjadi perubahan yang tidak tepat atau sesuai akan menyebabkan perubahan patologis maka akan menyebabkan menurunnya sistem immun tubuh dan akhirnya terutama pada anak-anak korban bencana alam rentan terkena penyakit terutama penyakit ISPA.


1.      PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bencana alam sudah bukan menjadi hal yang baru didengar di Indonesia. Gempa bumi sering melanda di beberapa kota dan profinsi di wilayah-wilayah Indonesia, gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan banjir bandang, mewarnai bencana-bencana alam yang terjadi di Indonesia terutama akhir-akhir ini.
Tingginya tingkat bencana alam di indonesia bisa di lihat dari posisi Indonesia dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia, menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, dan gunung berapi, dan menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir. (BBC Indonesia 22 agustus 2011). United Nations International Stategy for Disaster Reduction (UNISDR; Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana) memberikan informasi Berbagai bencana alam mulai gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia. Bahkan dalam masalah korban bencana alam tsunami dari 265 negara indonesia berada di peringkat pertama dengan 5.402.239 orang terkena dampaknya, bencana alam tanah longsor dari 162 negara Indonesia peringkat pertama dengan 197.372 orang terkena dampaknya, bencana alam gempa bumi. Dari 153 negara Indonesia meraih peringkat ketiga dengan 11.056.806 orang terkena dampaknya, dan bencana alam banjir dari 162 negara Indonesia berada diurutan ke-6 dengan 1.101.507 orang yang terkena dampaknya. (alamandah’s :2011)
Indonesia menjadi daerah rawan bencana karena beberapa alasan. Pertama karena faktor alam. Negeri kita ini berdiri di atas pertemuan rangkaian mediterania dan rangkaian pasifik, dengan proses pembentukan pegunungan, hal ini yang menyebabkan di Indonesia banyak terjadi gempa bumi. Gunung-gunung berapinya juga masih banyak yang aktif sekitar 140 gunung yang masih aktif. Kedua adalah faktor iklim yang tropis di Indonesia yang menyebabkan curah hujan yang cukup tinggi sehingga memudahkan terjadinya pelapukan,  tanah yang tidak stabil, banyak tanah yang rusak sehingga potensi bencana longsor terjadi sangat memungkinkan.
Selain kedua faktor tempat bertemunya rangkaian mediterania dan rangkaian pasifik juga faktor iklim, faktor lain yang mempengaruhi tingginya ancaman bencana di Indonesia adalah dari sisi non alam. Negeri kita berpenduduk padat, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera.  Kalau kawasan timur Indonesia mungkin belum begitu banyak. Infrakstuktur kita tidak didesain sesuai dengan kondisi alam itu. Bangunan rumah, juga bangunan besar seperti gedung, belum banyak disesuaikan dengan kondisi alam ini.
Akibat terjadinya bencana-bencana tersebut dampak yang ditimbulkan sangatlah kompleks, selain masalah pengungsi, kerusakan infrastruktur, terputusnya jalur komunikasi dan transportasi menjadi masalah kompleks lainnya. Kerusakan-kerusakan fisik dan psikis pun tentunya menjadi meningkat. Bencana membuat mereka kehilangan keluarga, sanak dan sodara, harta benda dan harus hidup di pengungsian. Hal ini memicu terjadinya gangguan psikologi di diri mereka. Seperti yang di kemukakan oleh Davison&Neale (1966) bahwa akibat terjadinya bencana alam seseorang yang berada di lingkungan yang terkena bencana tersebut memungkinkan terkena gangguan psikologis, dan gangguan psikologis tersebut diantaranya trauma, stres berat, stres akut dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Menurut Monahan (1993), trauma terjadi secara mendadak dan luar biasa, sehingga memaksa seseorang untuk menguasai dan menghadapi perasaannya. Kejadian yang mendadak ini membuat para korban menjadi bingung, timbulnya prilaku-prilaku aneh akibat tekanan yang di hadapinya. Mereka yang merasakan penderitaan ini sangat wajar, jika mengalami gangguan seperti bingung, sedih, takut dan merasa kehilangan. Seperti yang di kemukanakan Midicastore, 2006) bahwa terdapat beberapa gejala stress pasca trauma, yaitu respon emosi yang tumpul, lepas atau berkurang, merasa bahwa dirinya tidak nyata, tidak mampu mengingat bagian yang penting dari peristiwa traumatik itu sendiri.
Selain faktor psikologis yang terganggu, akibat bencana alam juga terjadi gangguan sistem fisiologis dalam tubuh, karena terjadi stress berat akibat ketidaksiapan dan keterkejutan dengan bencana yang menimpa yang begitu saja menimpa, sehingga sistem immun tubuh menjadi lemah. Akibat dari sistem immun yang lemah ini maka, penyakit menjadi berdatangan seperti demam, sakit kepala, dan ISPA.
Kedua faktor psikologi dan fisiologi sangat berpengaruh cepat dan rentan terutama kepada anak-anak, karena apapun permasalan yang timbul pada masa anak-anak akan melekat kuat sampai anak tersebut dewasa nantinya, seperti yang diungkapkan Seto Mulyadi (2005) bahwa permasalahan pada masa anak harus segera diselesaikan, sebab pengalaman pada masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang sangat kuat pada pola kehidupan di masa dewasannya nanti.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Dari hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi dan fisiologi mengenai kondisi yang dialami oleh korban bencana alam terutama anak-anak. Sehingga kita tahu seperti apa cara penanganan terhadap korban-korban bencana alam yang diantaranya dalam penanganan stress pasca trauma pada korban yang mengalami bencana dan penanggulangan sistem immunitas yang menurun dilihat dari fisiologi manusia pasca bencana pada korban yang mengalami bencana.
Manfaat Praktis
Memberikan manfaat dan kemudahan bagi masyarakat, psikolog, sukarelawan, untuk mengetahui gambaran secara umum baik itu dari sudut pandang psikologis dan fisiologi keadaan-keadaan yang terjadi di tempat bencana alam pasca bencana alam terjadi di tempat tersebut. Dan memberikan informasi awal keadaan yang sering terjadi jika bencana alam terjadi sehingga penanganan terhadap korban bencana lebih cepat dan tanggap.
Kajian Teoritis
Bencana alam telah membuat dunia bagi korbannya menjadi luluhlantah, mimpi-mimpinya menjadi tidak nyata lagi, harapan-harapan dan cita-cita nya sudah terengut. Secara personal banyak para istri menjadi janda, suami menjadi duda, anak menjadi yatim dan piatu atau bahkan menjadi sebatang kara tidak mempunyai sanak dan sodara lagi karena terengut oleh bencana alam yang menimpa. Seperti yang terjadi pada tsunami di Aceh 2005 data Lagzis menyebutkan bahwa jumlah anak di Banda Aceh yang kehilangan kedua orang tua dan terkumpul dalam beberapa child center adalah 143.000 anak. Secaara teoritis, individu-individu yang mengalami bencana dan kehilangan keluarga memiliki kecenderungan mengalami gangguan psikologis dan fisiologis baik pada saat setelah kejadian atau dalam waktu lama setelah kejadian bencana alam itu berlangsung. Gangguan psikologis yang dimungkinkan terjadi pada korban bencana adalah stres berat, stres akut dan Post-Traumatic Stress Disorders/PTSD (Davison & Neale, 1996). Dan secara fisiologi mengalami gangguan pada saluran pernafasan akibat dari gas gunung meletus atau bau menyengat dari reruntuhan atau bau dari korban-korban yang sudah meninggal, luka bakar akibat dari luka bakar dari akibat awan panas dan uap panas, dan penyakit-penyakit lainnya (Kompas : Oktober 2010).
1.      Faktor Psikologis
a.      Stress
Stress adalah suatu gejala-gejala yang timbul pada diri individu yang mengalami suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak dan luar biasa, peristiwa tersebut menimbulkan ketakutan dan perasaan tidak berdaya. Pengertian lain mengenai stress, Taylor (2003) bahwa stress adalah suatu pengalaman emosiaonal yang bersifat negatif dan dapat di prediksi secara biokimia, fisiologis, kognitif, dan perubahan perilaku terhadap stressfull event. Streefull event dapat memberikan pengaruh negatif pada individu yang mengalami, seperti berupa rasa marah, tegang, bingung, dan cemas. Stress ini dapat menghilang dengan cepat atau membutuhkan waktu berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan. Dan stress ini dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh (immun)
Menurut Davison&neale (1996) mengemukakan bahwa stress yang dialami oleh seseorang berasal dari 3 sumber, yaitu :
1.      Lingkungan dapat menjadi sumber stress. Lingkungan fisik seperti cuaca dan rasa bising, lingkungan sosial secara standar stress. Lingkungan sosial seperti standar penampilan, berbagai ancaman rasa aman dan harga diri dapat menjadi sumber stress bagi individu.
2.      Perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh manusia, terkadang dapat menjadi sumber stress bagi orang yang mengalaminya, misalnya pubertas dini, menopause pada wanita, proses menua, penyakit, kecelakaan, keterbatasa kemampuan gerak badan, nutrisi yang buruk dan gangguan tidur.
3.      Cara seseorang menafsirkan, mempersepsikan dan memaknai pengalamannya dapat menjadi sumber stress.
Sedangkan menurut Naqiyah (2005) bahwa faktor-faktor penyebab stress terutama pasca trauma khususnya trauma bencana alam adalah :
-          Tekanan lingkungan. Tekanan lingkungan yang telah hancur dapat menjadi faktor stress pasca trauma seperti akibat suatu bencana, seperti hancurnya rumah akibat bencana gempa bumi, banjir, tsunami, kerusuhan. Kematian seseorang yang dicintai, dapat menjadi faktor penyebab terjadinya stress pasca trauma seperti kematian orang tua, adik, kakak, saudara, kakek, nenek.
-                    Kecelakaan dapat menjadi faktor penyebab stress pasca trauma karena dari kecelakaan tersebut seseorang atau kelompok yang mengalami seperti kecelakaan kapal laut maka tidak mau lagi menaiki atau menggunakan jasa kapal laut.
-          Peledakan, kebakaran pada peristiwa ini seseorang atau kelompok mengalami stres pasca trauma dengan api yang menyebabkan terjadinya peledakan ataupun kebakaran.
Bencana alam (gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan sebagainya), seseorang atau kelompok dapat mengalami stress pasca trauma setelah mengalami bencana alam, seperti gempa bumi maka orang atau kelompok yang mengalami bencana tersebut akan bersikap tidak normal jika mendapat stimulus yang sama dengan kejadian gempa bumi atau terhadap getaran–getaran yang cukup dapat dirasakan.
b.      Post-Traumatic Stress Disorders
Davison & Neale (1996) mendefinisikan gangguan stres pasca trauma sebagai gangguan kecemasan akibat kejadian traumatis, seperti perang, pemerkosaan, dan bencana alam. Kejadian traumatis itu menyebabkan individu yang mengalami kejadian traumatisnya, menunjukkan simptom-simptom seperti : (1) Merasa terus menerus mengalami kejadian traumatisnya atau tidak bisa menghilangkan kejadian traumatis meskipun peristiwanya sudah lampau; (2) Berkurangnya respon terhadap dunia luar; (3) Merasa asing terhadap orang lain; (4) mimpi buruk, mimpi kejadian traumatisnya secara terus menerus atau mengalami gangguan tidur.
Individu tersebut pernah mengalami, menyaksikan atau berhadapan langsung dengan sebuah peristiwa atau beberapa peristiwa yang menyebabkan kematian ataupun luka serius. Respon individu meliputi  ketakutan, ketidakberdayaan (catatan : pada anak-anak hal ini mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur atau berantakan dan tidak tenang atau gelisah). Pengalaman traumatis seperti dialami  kembali yang

ditunjukkan oleh satu atau lebih dari hal-hal berikut :
Adanya hal-hal yang mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis seperti gambar-gambar, pikiran atau persepsi (catatan : pada anak­-anak hal ini dimunculkan kembali pada permainan). Adanya mimpi-mimpi yang mengingatkan pada peristiwa (catatan : anak-anak terdapat mimpi yang menakutkan tanpa adanya isi yang dapat diketahui maksudnya) Berperilaku atau merasa seperti   kejadian terulang kembali (meliputi perasaan sedang mengalami kejadian, ilusi-ilusi, halusinasi-halusinasi) (catatan : pada anak-anak kejadian traumatis secara spesifik dapat terlihat).
Keadaan yang berbahaya secara psikologis, jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang meyerupai kejadian traumatis. Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian traumatis. Penghindaran terhadap stimulus-stimulus yang berhubungan dengan peristiwa traumatis (yang tidak terlihat sebelum peristiwa traumatis terjadi) yang ditunjukkan tiga atau lebih dari hal-hal berikut :
-          Adanya penghindaran terhadap pikiran, perasaan, ataupun percakapan yang berhubungan dengan peristiwa traumatis.
-          Adanya penghindaran terhadap aktivitas, tempat, atau individu-individu yang terkait dengan peristiwa traumatis.
-          Ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek penting dari peristiwa traumatis.
-          Berkurangnya keinginan untuk berpartisipasi ataupun untuk melakukan sebuah aktivitas.
-          Adanya perasaan terasing dari sekitarnya
-          Adanya perilaku yang tertunda (tidak adanya perasaan mencintai orang lain)
-          Adanya perasaan tidak memiliki masa depan (tidak berharap akan memiliki karir, perkawinan, anak-anak ataupun kehidupan normal di masa mendatang).
Adanya simptom-simptom yang tidak terlihat sebelumnya, yang ditunjukkan oleh dua atau lebih dari hal-hal berikut ini:
-                    Adanya kesulitan tidur.
-                    Mudah marah atau kesulitan dalam mengendalikan emosi
-                    Kesulitan berkonsentrasi
-                    Kesiagaan berlebih

B. Faktor Fisiologi
Penurunan imunitas tubuh mereka tersebut sangat mungkin terjadi karena adanya stress berat yang mereka hadapi. Kejadian traumatik bencana alam menjadi sebuah stress bagi mereka, stress yang sangat berat, yang meliputi keterlibatan seluruh indra, dapat merubah imunitas tubuh. Hal ini terjadi sebagai sebuah respon untuk beradaptasi terhadap lingkungan sekitar yang berubah (Maj, 2005). Perubahan ini, sangat erat kaitannya dengan aktifasi system yang mengeluarkan glukokortikoid (kortisol) dari kelenjar adrenal (Greenstein, 2000). Perubahan yang tidak tepat atau sesuai akan menyebabkan perubahan patologis (Ibor, 2005).
Sebagai tambahan terhadap respon, tubuh juga melaksanakan respon “fight or flight”. Ini terjadi ketika tubuh merasa terancam, meliputi gula darah rendah dan stress. Medulla adrenal, sebagian dari otak, mengeluarkan adrenalin yang juga dikenal sebagai epinefrin. Peningkatan heart rate, aliran darah meningkat untuk otak dan otot dan meningkatnya level gula dalam darah adalah usaha tubuh untuk melawan. Dalam koordinasi dengan medulla adrenal, korteks adrenal, sebagian kelenjar adrenal, mengsekresi hidrokortisol atau “cortisol”. Cortisol mengontrol metabolisme gula darah, carbohidrat, lipid dan protein. Ini juga membantu memperlambat pengaruh respon inflamasi. Cortisol dilepaskan dalam intricate process. Pertama, hipotalamus di otak melepaskan CRH (corticotrophin releasing hormone) yang merangsang kelenjar pituitary melepaskan ACTH (adrenocorticotrophic hormone) yang merangsang kelenjar adrenal melepaskan cortisol.
Semua ini terjadi di tubuh kita ketika penyerbu masuk. Jika salah satu bagian ditekan, dapat mempengaruhi seluruh kemampuan tubuh kita untuk mencukupi dan efisiensi melawan lagi substansi. Stress fisik dan emosional merupakan satu dari banyak penyebab dari tertekannya respon sistem imun. Ketika tubuh melawan stress itu terjadi respon “fight or flight”. Tubuh meningkatkan jumlah molekul, bahan kimia dan hormone yang diasosiasikan dengan respon sistem imun. Itu menahan peningkatan jumlah substansi. Ini kemudian menyebabkan tubuh untuk melaksanakan respon sistem imun ketika level stress tinggi. Pada waktu stress menurun atau frekuensi menurun, tubuh tidak bisa merespon, oleh karena itu menekan sistem imun. Tidak semua stress berbahaya bagi sistem imun. Ada 2 tipe stress, akut dan kronik. Contoh dari stress akut adalah bicara  didepan public, stress saat ujian, kehilangan orang yang kita cintai.
Ketika terdapat stress dari lingkungan, maka secara garis besar, simpatik dari hipotalamus (HS) dan system hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) disediakan otak dan kontrol perifer terhadap respon stress. HS system, mulai dengan neuron yang berada di periventriculer nucleus (PVN), menyebabkan  pelepasan katekolamin dari otak dan medulla ginjal. Sebagai tambahan, stress tertentu mempunyi efek pada prolactin, β-endorphin, vasopressin, tiroxin, dan berpotensi aktifkan system endokrin lain.
HPA mengeluarkan corticotrophin releasing  factor (atau hormon; CRF atau CRH) yang melepaskan CRF pada intinya dan masuk ke dalam hypothalamic-hypophyseal portal sistem. Sel endokrin di anterior posterior hipofisis berespon terhadap CRF dengan mensintesis dan mengsekresi proopiomelanocortin atau produk nya (β- endorphin, adrenocorticoptropin hormon (ACTH), dan melanocyte hormone stimuating). Hipofisis melepaskan ACTH yang berasal dari korteks adrenal pada zona fasikulata yang mengeluarkan kortikosteroid ke darah.
Figure 2. The hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Note that adrenocorticotropic hormone (ACTH) releases an array of hormones with a diurnal variation. As with all hormones, there are direct effects on the cerebral cortex. CNS, central nervous system; CRH, corticotropin-releasing hormone. Higgins, 2007.

Glucocorticoids mempunyai umpan balik negatif kepada PVN untuk menghambat CRF dan sintesis katekolamin. Ketika keadaan terpapar stres, PVN diaktifkan dan katekolamin yang dilepaskan dari otak dan medulla ginjal. Pada waktu yang sama, katekolamin neurons dalam korteks adrenal mengaktifkan sel glucocorticoid-producing (sel penghasil glukokortikoid) dan catecholamines secara langsung mengaktipkan CRF neurons dalam PVN. CRF kemudian menyebabkan pelepasan ACTH yang menyebabkan pelepasan glucocorticoid. Glucocorticoids menghalangi CRF hypothalamic dan catecholamine aktivitas. Glucocorticoids secara efektif menghambat respon stress.
Figure 3. Two representations showing the two tracks that emotionally stimulating sensory information takes to the amygdala after entering the brain through the thalamus. HPA, hypothalamic-pituitary-adrenal.. . LeDoux JE,1994
Kesimpulannya, catecholamines menyebabkan pengeluaran CRF dari PVN-sebagai pusat dan pengeluaran glucocorticoid dari adrenal korteks. CRF, via ACTH, menyebabkan pengeluaran glucocorticoid. Glucocorticoids menghalangi CRF dan pengeluaran catecholamine. Mengenai sistem kekebalan, catecholamines mempunyai efek inflamasi, sedangkan glucocorticoids mempunyai efek anti-inflamasi (Nelson, 2002).
Perubahan perilaku yang terjadi, dikarenakan adanya system yang bekerja pada otak. Sistem yang bekerja pada otak ini, terutama meliputi korteks prefrontal, amigdala, HPA axis, dan kelenjar adrenal (kortisol). Seperti yang terdapat dalam gambar diatas, ketika terlihat, terjadi, terdengar, terasa sesuatu yang membuat shock, akan mengakibatkan anxietas yang berlebihan. Ketika terjadi kejadian traumatic seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka akan aktiflah system ini, aktifnya system ini dapat berlangsung sebentar, namun dapat pula berlangsung lama. Hal ini tergantung dari aktifitas amigdala dan PFC sebagai tempat dari pengatur emosi dan perilaku (Higgins), juga tergantung dari persepsi yang dihasilkan korteks, juga tergantung dari seberapa berat stress yang didapat, serta waktu pemulihan dari stress tersebut (Casey).

Figure 4. Anxiety disorders and dysregulation may be the result of too much activity in the amygdala and not enough activity in the prefrontal cortex (PFC). Higgins, 2007
            Anxietas yang berlebihan terhadap suatu subjek traumatik, merupakan hasil yang disebabkan karena radanya ketidak seimbangan antara amigdala dan aktifitas korteks prefrontalis.
            Hubungan terjadinya respon perubahan perilaku yang dapat diobservasi peneliti terhadap aktifitas prefrontal korteks dan juga terhadap amigdala, dapat dijelaskan melalui gambar dibawah ini. Gambar ini merupakan representasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan untuk menilai hubungan aktifitas PFC dan amigdala pada orang dengan PTSD dan orang normal lainnya.  Dalam konsep yang simple, kita dapat membayangkan bahwa mPFC menyebabkan pemutusan sirkuit menuju amigdala sebagai pusat emosional.
Figure 6 : Traumatized
Figure 6:subjects and controls are shown pictures of fearful faces and happy faces while in a functional magnetic resonance imaging (fMRI). The patients show increased activity in the amygdala (B) and decreased activity in the prefrontal cortex (PFC) (C) compared to the controls. Activity in the PFC and amygdala (D) have an inverse correlation for the traumatized patients. Calder etal, 2001

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh terhadap perilaku seseorang, termasuk anak-anak korban bencana alam ini yang mengalami kejadian taumatik yang menjadi rekaman tertentu dalam korteks cerebri, lalu mengaktifkan HPA Axis, pengeluaran kortisol, aktifasi system amigdala, aktifasi system prefrontal cortex.  

3. Karateristik Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak (Yuliani Nurani Sujiono, 2009: 7). Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age). Makanan yang bergizi yang seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
Ada berbagai kajian tentang hakikat anak usia dini, khususnya anak TK diantaranya oleh Bredecam dan Copple, Brener, serta Kellough (dalam Masitoh dkk., 2005: 1.12 – 1.13) sebagai berikut.
-            Anak bersifat unik.
-            Anak mengekspresikan perilakunya secara relatif spontan.
-            Anak bersifat aktif dan enerjik.
-            Anak itu egosentris.
-            Anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal.
-            Anak bersifat eksploratif dan berjiwa petualang.
-            Anak umumnya kaya dengan fantasi.
-            Anak masih mudah frustrasi.
-            Anak masih kurang pertimbangan dalam bertindak.
-            Anak memiliki daya perhatian yang pendek.
-            Masa anak merupakan masa belajar yang paling potensial.
-            Anak semakin menunjukkan minat terhadap teman.
4.      Prinsip-prinsip Perkembangan Anak Usia Dini
Prinsip-prinsip perkembangan anak usia dini berbeda dengan prinsip-prinsip perkembangan fase kanak-kanak akhir dan seterusnya. Adapun prinsip-prinsip perkembangan anak usia dini menurut Bredekamp dan Coople (Siti Aisyah dkk., 2007 : 1.17 – 1.23) adalah sebagai berikut.
a.       Perkembangan aspek fisik, sosial, emosional, dan kgnitif anak saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
b.      Perkembangan fisik/motorik, emosi, social, bahasa, dan kgnitif anak terjadi dalam suatu urutan tertentu yang relative dapat diramalkan.
c.       Perkembangan berlangsung dalam rentang yang bervariasi antar anak dan antar bidang pengembangan dari masing-masing fungsi.
d.      Pengalaman awal anak memiliki pengaruh kumulatif dan tertunda terhadap perkembangan anak.
e.       Perkembangan anak berlangsung ke arah yang makin kompleks, khusus, terorganisasi dan terinternalisasi.
f.       Perkembangan dan cara belajar anak terjadi dan dipengaruhi oleh konteks social budaya yang majemuk.
g.      Anak adalah pembelajar aktif, yang berusaha membangun pemahamannya tentang tentang lingkungan sekitar dari pengalaman fisik, social, dan pengetahuan yang diperolehnya.
h.      Perkembangan dan belajar merupakan interaksi kematangan biologis dan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
i.        Bermain merupakan sarana penting bagi perkembangan social, emosional, dan kognitif anak serta menggambarkan perkembangan anak.
j.        Perkembangan akan mengalami percepatan bila anak berkesempatan untuk mempraktikkan berbagai keterampilan yang diperoleh dan mengalami tantangan setingkat lebih tinggi dari hal-hal yang telah dikuasainya.
k.      Anak memiliki modalitas beragam (ada tipe visual, auditif, kinestetik, atau gabungan dari tipe-tipe itu) untuk mengetahui sesuatu sehingga dapat belajar hal yang berbeda pula dalam memperlihatkan hal-hal yang diketahuinya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi perkembangan anak usia dini adalah kondisi terbaik anak untuk berkembang dan belajar adalam dalam komunitas yang menghargainya, memenuhi kebutuhan fisiknya, dan aman secara fisik dan fisiologis.
5.      Hubungan Antara Faktor Psikologi dan Fisiologi Terhadap Korban Bencana Alam
Seperti yang telah di kemukanan oleh Taylor (2003) bahwa stress adalah suatu pengalaman emosiaonal yang bersifat negatif dan dapat di prediksi secara biokimia, fisiologis, kognitif, dan perubahan perilaku terhadap stressfull event. Streefull event dapat memberikan pengaruh negatif pada individu yang mengalami, seperti berupa rasa marah, tegang, bingung, dan cemas. Stress ini dapat menghilang dengan cepat atau membutuhkan waktu berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan. Dan stress ini dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh (immun).
Kejadian traumatik bencana alam menjadi sebuah stress bagi mereka, stress yang sangat berat, yang meliputi keterlibatan seluruh indra, dapat merubah imunitas tubuh. Hal ini terjadi sebagai sebuah respon untuk beradaptasi terhadap lingkungan sekitar yang berubah (Maj, 2005). Perubahan ini, sangat erat kaitannya dengan aktifasi system yang mengeluarkan glukokortikoid (kortisol) dari kelenjar adrenal (Greenstein, 2000). Perubahan yang tidak tepat atau sesuai akan menyebabkan perubahan patologis (Ibor, 2005).
Kedua faktor psikologi dan fisiologi ini akan muncul secara besama-sama pada orang yang mengalami korban bencana alam, terutama pada anak-anak. Selain memberikan pengaruh yang negatif pada anak-anak karena timbul stress, rasa cemas yang mendalam, atau merasa kehilangan keluarga sehingga kurang istirahat dan terjadinya tekanan pada diri sehingga pada anak akan cepat terjadinya penurunan sistem immun. Dan selain itu traumatik yang di alami pada masa kanak-kanak akan sangat berpengaruh sangat lama pada masa anak-anak dan itu sangat berpengaruh pada perkembangan anak di masa dewasanya. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Seto Mulyadi (2005) bahwa permasalahan pada masa anak harus segera diselesaikan, sebab pengalaman pada masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang sangat kuat pada pola kehidupan di masa dewasannya nanti.
KSEIMPULAN  DAN SARAN
Dapat kita simpulkan bahwa, yang terjadi pada anak-anak korban bencana alam adalah suatu kejadian yang bisa mempengaruhi perkembangan secara psikologis dan fisiologis, yang diantaranya faktor psikologis berupa stress dan faktor fisiologis berupa penurunan tingkat imunitas. Karena kejadian bencana alam tersebut meningkatkan stress dan tekanan yang cukup berat, menekan respon immune korban, termasuk anak-anak, dan tanda-tanda penurunan imun dapat kita lihat selanjutnya, seperti demam, sakit perut, pucat, sering merasa sakit kepala, anak menjadi lemas, myalgia serta ada pula terkena ISPA


.
Daftar Pustaka
Gunarsa, S.D. (1990). Dasar dan teori perkembangan anak dan remaja. Jakarta : Gunung Mulia.
Hartiningsih. (2005). Bencana gempa dan tsunami. Jakarta: Buku Kompas.
Heterington, M. E., & Parke, R. D. (1993). Child psychology a contemporary viewpoint. Boston : McGraw Hill.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Ibor, Jose L., Gaebel, Wolfgang., Maj, Mario., & Sartorius, Norman. (2002). Psychiatry as a Neuroscience. Chicester-UK: John Willey and Sons,
Marieb, Elaine N., Hoehn, Katja.(2009) Human Anatomy and Physiology 7th edition.Pearson Publicaation Inc. Publishing as Benjamin Cummings.

Monahan, C. (1993). Children And Trauma: A parents guide to helping children heal. USA : Lexington Books.
Naqiah, N. (2006). Penanggulangan pasca tsunami. www.najlah.blogsport.com. Diakes. Tahun 2006.
Randy J. Nelson, Gregory E. Demas, Sabra L. Klein, Lance J. Kriegsfeld.(2002) Patterns of Stress, Immune Function and disease. Cambridge University Press.


No comments:

Post a Comment