STRES PASCA TRAUMA PADA ANAK USIA DINI KORBAN BENCANA ALAM
(Sudut Pandang Psikologi Dan
Fisiologi)
Akhmad
Sobarna, M.Pd
ABSTRAK
Peristiwa
gempa bumi yang terjadi di
wilayah Indonesia menimbulkan permasalahan, seperti pengungsian dan
kerusakan infrastruktur
tetapi peristiwa gempa tersebut dapat menimbulkan trauma dan penurunan sistem immun dalam tubuh.
Trauma yang diderita dan masih tersimpan dalam waktu yang lama dapat
mengakibatkan stres pasca trauma terutama pada anak-anak.
Stres
pasca trauma yang timbul dapat merubah perilaku seseorang yang telah
mengalami peristiwa traumatis. Khususnya pada anak-anak kejadian peristiwa traumatis dapat
merubah perilaku bahkan dapat menghambat perkembangan baik dalam kehidupan sosial, akademis dan psikologisnya.
Selain timbulnya
stress berpengaruh juga pada sistem fisiologi, terjadinya perubahan pada
sistem aktifas yang mengeluarkan glukokortikoid (kortisol) dari kelenjar
adrenal dalam tubuh, sehingga perubahan tersebut jika terjadi perubahan yang
tidak tepat atau sesuai akan menyebabkan perubahan patologis maka akan
menyebabkan menurunnya sistem immun tubuh dan akhirnya terutama pada anak-anak
korban bencana alam rentan terkena penyakit terutama penyakit ISPA.
1.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Bencana alam sudah bukan menjadi hal yang baru
didengar di Indonesia. Gempa bumi sering melanda di beberapa kota dan profinsi
di wilayah-wilayah Indonesia, gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan banjir
bandang, mewarnai bencana-bencana alam yang terjadi di Indonesia terutama
akhir-akhir ini.
Tingginya tingkat bencana alam di indonesia bisa di
lihat dari posisi Indonesia dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko
kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia, menurut Kepala Pusat
Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
Sutopo Purwo Nugroho, Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman
bahaya tsunami, tanah longsor, dan gunung berapi, dan menduduki peringkat tiga
untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir. (BBC Indonesia 22 agustus 2011). United Nations International
Stategy for Disaster Reduction (UNISDR; Badan PBB
untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana) memberikan informasi
Berbagai bencana alam mulai gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir,
tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia. Bahkan
dalam masalah korban bencana alam tsunami dari 265 negara indonesia berada di peringkat
pertama dengan 5.402.239 orang terkena dampaknya, bencana alam tanah longsor dari 162 negara Indonesia peringkat
pertama dengan 197.372 orang terkena dampaknya, bencana alam gempa bumi. Dari 153 negara Indonesia meraih
peringkat ketiga dengan 11.056.806 orang terkena dampaknya, dan bencana alam banjir dari 162 negara
Indonesia berada diurutan ke-6 dengan 1.101.507 orang yang terkena dampaknya. (alamandah’s
:2011)
Indonesia
menjadi daerah rawan bencana karena beberapa alasan. Pertama karena faktor alam.
Negeri kita ini berdiri di atas pertemuan rangkaian mediterania dan rangkaian
pasifik, dengan proses pembentukan pegunungan, hal ini yang menyebabkan di
Indonesia banyak terjadi gempa bumi. Gunung-gunung berapinya juga masih banyak
yang aktif sekitar 140 gunung yang masih aktif. Kedua adalah faktor iklim yang
tropis di Indonesia yang menyebabkan curah hujan yang cukup tinggi sehingga
memudahkan terjadinya pelapukan, tanah
yang tidak stabil, banyak tanah yang rusak sehingga potensi bencana longsor
terjadi sangat memungkinkan.
Selain
kedua faktor tempat bertemunya rangkaian mediterania dan rangkaian pasifik juga
faktor iklim, faktor lain yang mempengaruhi tingginya ancaman bencana di
Indonesia adalah dari sisi non alam. Negeri kita berpenduduk padat, terutama di
Pulau Jawa dan Sumatera. Kalau kawasan
timur Indonesia mungkin belum begitu banyak. Infrakstuktur kita tidak didesain
sesuai dengan kondisi alam itu. Bangunan rumah, juga bangunan besar seperti
gedung, belum banyak disesuaikan dengan kondisi alam ini.
Akibat terjadinya bencana-bencana tersebut dampak yang
ditimbulkan sangatlah kompleks, selain masalah pengungsi, kerusakan infrastruktur,
terputusnya jalur komunikasi dan transportasi menjadi masalah kompleks lainnya.
Kerusakan-kerusakan fisik dan psikis pun tentunya menjadi meningkat. Bencana
membuat mereka kehilangan keluarga, sanak dan sodara, harta benda dan harus
hidup di pengungsian. Hal ini memicu terjadinya gangguan psikologi di diri
mereka. Seperti yang di kemukakan oleh Davison&Neale (1966) bahwa akibat
terjadinya bencana alam seseorang yang berada di lingkungan yang terkena
bencana tersebut memungkinkan terkena gangguan psikologis, dan gangguan
psikologis tersebut diantaranya trauma, stres berat, stres akut dan
Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Menurut
Monahan (1993), trauma terjadi secara mendadak dan luar biasa, sehingga memaksa
seseorang untuk menguasai dan menghadapi perasaannya. Kejadian yang mendadak
ini membuat para korban menjadi bingung, timbulnya prilaku-prilaku aneh akibat
tekanan yang di hadapinya. Mereka yang merasakan penderitaan ini sangat wajar,
jika mengalami gangguan seperti bingung, sedih, takut dan merasa kehilangan. Seperti
yang di kemukanakan Midicastore, 2006) bahwa terdapat beberapa gejala stress
pasca trauma, yaitu respon emosi yang tumpul, lepas atau berkurang, merasa
bahwa dirinya tidak nyata, tidak mampu mengingat bagian yang penting dari
peristiwa traumatik itu sendiri.
Selain
faktor psikologis yang terganggu, akibat bencana alam juga terjadi gangguan
sistem fisiologis dalam tubuh, karena terjadi stress berat akibat ketidaksiapan
dan keterkejutan dengan bencana yang menimpa yang begitu saja menimpa, sehingga
sistem immun tubuh menjadi lemah. Akibat dari sistem immun yang lemah ini maka,
penyakit menjadi berdatangan seperti demam, sakit kepala, dan ISPA.
Kedua
faktor psikologi dan fisiologi sangat berpengaruh cepat dan rentan terutama kepada
anak-anak, karena apapun permasalan yang timbul pada masa anak-anak akan
melekat kuat sampai anak tersebut dewasa nantinya, seperti yang diungkapkan
Seto Mulyadi (2005) bahwa permasalahan pada masa anak harus segera
diselesaikan, sebab pengalaman pada masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang
sangat kuat pada pola kehidupan di masa dewasannya nanti.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Dari
hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi
perkembangan ilmu psikologi dan fisiologi mengenai kondisi yang dialami oleh
korban bencana alam terutama anak-anak. Sehingga kita tahu seperti apa cara
penanganan terhadap korban-korban bencana alam yang diantaranya dalam
penanganan stress pasca trauma pada korban yang mengalami bencana dan
penanggulangan sistem immunitas yang menurun dilihat dari fisiologi manusia
pasca bencana pada korban yang mengalami bencana.
Manfaat Praktis
Memberikan
manfaat dan kemudahan bagi masyarakat, psikolog, sukarelawan, untuk mengetahui
gambaran secara umum baik itu dari sudut pandang psikologis dan fisiologi
keadaan-keadaan yang terjadi di tempat bencana alam pasca bencana alam terjadi
di tempat tersebut. Dan memberikan informasi awal keadaan yang sering terjadi
jika bencana alam terjadi sehingga penanganan terhadap korban bencana lebih
cepat dan tanggap.
Kajian Teoritis
Bencana
alam telah membuat dunia bagi korbannya menjadi luluhlantah, mimpi-mimpinya
menjadi tidak nyata lagi, harapan-harapan dan cita-cita nya sudah terengut.
Secara personal banyak para istri menjadi janda, suami menjadi duda, anak
menjadi yatim dan piatu atau bahkan menjadi sebatang kara tidak mempunyai sanak
dan sodara lagi karena terengut oleh bencana alam yang menimpa. Seperti yang
terjadi pada tsunami di Aceh 2005 data Lagzis menyebutkan bahwa jumlah anak di
Banda Aceh yang kehilangan kedua orang tua dan terkumpul dalam beberapa child
center adalah 143.000 anak. Secaara teoritis, individu-individu yang mengalami
bencana dan kehilangan keluarga memiliki kecenderungan mengalami gangguan
psikologis dan fisiologis baik pada saat setelah kejadian atau dalam waktu lama
setelah kejadian bencana alam itu berlangsung. Gangguan psikologis yang dimungkinkan
terjadi pada korban bencana adalah stres berat, stres akut dan Post-Traumatic Stress
Disorders/PTSD (Davison & Neale, 1996). Dan secara fisiologi mengalami
gangguan pada saluran pernafasan akibat dari gas gunung meletus atau bau menyengat
dari reruntuhan atau bau dari korban-korban yang sudah meninggal, luka bakar
akibat dari luka bakar dari akibat awan panas dan uap panas, dan
penyakit-penyakit lainnya (Kompas : Oktober 2010).
1.
Faktor Psikologis
a.
Stress
Stress adalah suatu gejala-gejala yang timbul pada diri
individu yang mengalami suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak dan luar
biasa, peristiwa tersebut menimbulkan ketakutan dan perasaan tidak berdaya.
Pengertian lain mengenai stress, Taylor (2003) bahwa stress adalah suatu pengalaman
emosiaonal yang bersifat negatif dan dapat di prediksi secara biokimia,
fisiologis, kognitif, dan perubahan perilaku terhadap stressfull event.
Streefull event dapat memberikan pengaruh negatif pada individu yang mengalami,
seperti berupa rasa marah, tegang, bingung, dan cemas. Stress ini dapat
menghilang dengan cepat atau membutuhkan waktu berminggu-minggu, atau bahkan
berbulan-bulan. Dan stress ini dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh (immun)
Menurut Davison&neale (1996) mengemukakan bahwa stress
yang dialami oleh seseorang berasal dari 3 sumber, yaitu :
1.
Lingkungan dapat menjadi sumber stress.
Lingkungan fisik seperti cuaca dan rasa bising, lingkungan sosial secara
standar stress. Lingkungan sosial seperti standar penampilan, berbagai ancaman
rasa aman dan harga diri dapat menjadi sumber stress bagi individu.
2.
Perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh
manusia, terkadang dapat menjadi sumber stress bagi orang yang mengalaminya,
misalnya pubertas dini, menopause pada wanita, proses menua, penyakit,
kecelakaan, keterbatasa kemampuan gerak badan, nutrisi yang buruk dan gangguan
tidur.
3.
Cara seseorang menafsirkan, mempersepsikan dan memaknai
pengalamannya dapat menjadi sumber stress.
Sedangkan menurut Naqiyah (2005) bahwa faktor-faktor
penyebab stress terutama pasca trauma khususnya trauma bencana alam adalah :
-
Tekanan
lingkungan. Tekanan lingkungan yang telah hancur dapat menjadi faktor
stress pasca
trauma seperti akibat suatu bencana, seperti hancurnya rumah akibat bencana gempa bumi,
banjir, tsunami, kerusuhan. Kematian
seseorang yang dicintai, dapat menjadi
faktor penyebab terjadinya stress
pasca trauma seperti kematian orang tua, adik, kakak, saudara, kakek, nenek.
-
Kecelakaan dapat menjadi faktor penyebab stress pasca trauma karena dari kecelakaan tersebut seseorang atau kelompok yang mengalami seperti kecelakaan kapal laut maka tidak mau lagi menaiki atau menggunakan jasa kapal laut.
-
Peledakan, kebakaran pada peristiwa ini seseorang atau kelompok mengalami stres pasca trauma dengan api yang menyebabkan terjadinya peledakan ataupun kebakaran.
Bencana
alam (gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, dan sebagainya), seseorang atau kelompok dapat mengalami stress pasca trauma setelah mengalami bencana alam, seperti gempa bumi maka orang atau kelompok yang
mengalami bencana tersebut akan
bersikap tidak normal jika mendapat stimulus yang sama dengan kejadian gempa bumi atau terhadap getaran–getaran yang cukup dapat dirasakan.
b.
Post-Traumatic Stress Disorders
Davison & Neale (1996) mendefinisikan gangguan stres pasca
trauma sebagai gangguan kecemasan akibat
kejadian traumatis, seperti perang, pemerkosaan, dan bencana alam. Kejadian traumatis itu menyebabkan individu yang
mengalami kejadian traumatisnya, menunjukkan simptom-simptom seperti :
(1) Merasa terus menerus mengalami kejadian traumatisnya
atau tidak bisa menghilangkan kejadian traumatis meskipun peristiwanya sudah lampau; (2) Berkurangnya respon terhadap dunia
luar; (3) Merasa asing terhadap orang lain; (4) mimpi buruk, mimpi kejadian traumatisnya secara terus menerus atau
mengalami gangguan tidur.
Individu tersebut pernah mengalami, menyaksikan
atau berhadapan langsung dengan sebuah peristiwa atau beberapa peristiwa yang menyebabkan kematian ataupun luka serius. Respon
individu meliputi ketakutan, ketidakberdayaan (catatan : pada anak-anak hal ini mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur atau berantakan dan tidak tenang atau gelisah).
Pengalaman traumatis seperti dialami kembali
yang
|
Adanya hal-hal yang mengingatkan
kembali pada peristiwa traumatis seperti gambar-gambar,
pikiran atau persepsi (catatan : pada anak-anak hal ini dimunculkan kembali
pada permainan). Adanya mimpi-mimpi yang mengingatkan pada peristiwa (catatan
: anak-anak terdapat mimpi yang
menakutkan tanpa adanya isi yang
dapat diketahui maksudnya) Berperilaku
atau merasa seperti kejadian terulang kembali (meliputi perasaan sedang mengalami kejadian, ilusi-ilusi,
halusinasi-halusinasi) (catatan : pada
anak-anak kejadian traumatis secara
spesifik dapat terlihat).
Keadaan yang berbahaya secara psikologis, jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang meyerupai kejadian traumatis. Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian traumatis. Penghindaran terhadap stimulus-stimulus yang berhubungan dengan peristiwa traumatis (yang tidak terlihat sebelum peristiwa traumatis terjadi) yang ditunjukkan tiga atau lebih dari hal-hal berikut :
-
Adanya penghindaran terhadap pikiran, perasaan, ataupun percakapan yang berhubungan dengan
peristiwa traumatis.
-
Adanya penghindaran terhadap aktivitas, tempat, atau individu-individu
yang terkait dengan peristiwa traumatis.
-
Ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek penting dari
peristiwa traumatis.
-
Berkurangnya keinginan untuk berpartisipasi ataupun untuk melakukan sebuah aktivitas.
-
Adanya
perasaan terasing dari sekitarnya
-
Adanya
perilaku yang tertunda (tidak adanya
perasaan mencintai orang lain)
-
Adanya perasaan tidak memiliki masa depan (tidak berharap akan memiliki karir, perkawinan, anak-anak ataupun kehidupan normal di masa mendatang).
Adanya simptom-simptom yang tidak terlihat sebelumnya, yang ditunjukkan oleh dua atau lebih dari hal-hal berikut ini:
-
Adanya kesulitan tidur.
-
Mudah marah atau kesulitan dalam mengendalikan emosi
-
Kesulitan
berkonsentrasi
-
Kesiagaan
berlebih
B. Faktor Fisiologi
Penurunan imunitas tubuh mereka tersebut
sangat mungkin terjadi karena adanya stress berat yang mereka hadapi. Kejadian
traumatik bencana alam menjadi sebuah stress bagi mereka, stress yang sangat
berat, yang meliputi keterlibatan seluruh indra, dapat merubah imunitas tubuh.
Hal ini terjadi sebagai sebuah respon untuk beradaptasi terhadap lingkungan
sekitar yang berubah (Maj, 2005). Perubahan ini, sangat erat kaitannya dengan
aktifasi system yang mengeluarkan glukokortikoid (kortisol) dari kelenjar
adrenal (Greenstein, 2000). Perubahan yang tidak tepat atau sesuai akan
menyebabkan perubahan patologis (Ibor, 2005).
Sebagai
tambahan terhadap respon, tubuh juga melaksanakan respon “fight or flight”.
Ini terjadi ketika tubuh merasa terancam, meliputi gula darah rendah dan
stress. Medulla adrenal, sebagian dari otak, mengeluarkan adrenalin yang juga
dikenal sebagai epinefrin. Peningkatan heart
rate, aliran darah meningkat untuk otak dan otot dan meningkatnya level
gula dalam darah adalah usaha tubuh untuk melawan. Dalam koordinasi dengan
medulla adrenal, korteks adrenal, sebagian kelenjar adrenal, mengsekresi
hidrokortisol atau “cortisol”. Cortisol mengontrol metabolisme gula darah,
carbohidrat, lipid dan protein. Ini
juga membantu memperlambat pengaruh respon
inflamasi. Cortisol dilepaskan dalam intricate
process. Pertama, hipotalamus di otak melepaskan CRH (corticotrophin
releasing hormone) yang merangsang kelenjar pituitary melepaskan ACTH
(adrenocorticotrophic hormone) yang merangsang kelenjar adrenal melepaskan
cortisol.
Semua ini
terjadi di tubuh kita ketika penyerbu masuk. Jika salah satu bagian ditekan,
dapat mempengaruhi seluruh kemampuan tubuh kita untuk mencukupi dan efisiensi
melawan lagi substansi. Stress fisik dan emosional merupakan satu dari banyak
penyebab dari tertekannya respon sistem imun. Ketika tubuh melawan stress itu
terjadi respon “fight or flight”. Tubuh meningkatkan
jumlah molekul, bahan kimia dan hormone yang diasosiasikan dengan respon sistem
imun. Itu menahan peningkatan jumlah substansi. Ini kemudian menyebabkan tubuh
untuk melaksanakan respon sistem imun ketika level stress tinggi. Pada waktu
stress menurun atau frekuensi menurun, tubuh tidak bisa merespon, oleh karena
itu menekan sistem imun. Tidak semua stress berbahaya bagi sistem imun. Ada 2
tipe stress, akut dan kronik. Contoh dari stress akut adalah bicara didepan public, stress saat ujian, kehilangan
orang yang kita cintai.
Ketika terdapat stress dari lingkungan,
maka secara garis besar, simpatik dari hipotalamus (HS) dan system
hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA)
disediakan otak dan kontrol perifer terhadap respon stress. HS system, mulai
dengan neuron yang berada di periventriculer nucleus (PVN), menyebabkan pelepasan katekolamin dari otak dan medulla
ginjal. Sebagai tambahan, stress tertentu mempunyi efek pada prolactin,
β-endorphin, vasopressin, tiroxin, dan berpotensi aktifkan system endokrin
lain.
HPA mengeluarkan corticotrophin releasing factor
(atau hormon; CRF atau CRH) yang melepaskan CRF pada intinya dan masuk ke dalam
hypothalamic-hypophyseal portal sistem. Sel endokrin di anterior posterior
hipofisis berespon terhadap CRF dengan mensintesis dan mengsekresi
proopiomelanocortin atau produk nya (β-
endorphin, adrenocorticoptropin hormon (ACTH), dan melanocyte hormone
stimuating). Hipofisis melepaskan ACTH yang berasal dari korteks adrenal
pada zona fasikulata yang mengeluarkan
kortikosteroid ke darah.
Figure 2. The
hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Note that adrenocorticotropic
hormone (ACTH) releases an array of hormones with a diurnal variation. As
with all hormones, there are direct effects on the cerebral cortex. CNS,
central nervous system; CRH, corticotropin-releasing hormone. Higgins,
2007.
|
Glucocorticoids mempunyai
umpan balik negatif kepada PVN untuk menghambat CRF dan sintesis katekolamin.
Ketika keadaan terpapar stres, PVN diaktifkan dan katekolamin yang dilepaskan
dari otak dan medulla ginjal. Pada waktu yang sama, katekolamin neurons dalam
korteks adrenal mengaktifkan sel glucocorticoid-producing
(sel penghasil glukokortikoid) dan catecholamines secara langsung mengaktipkan
CRF neurons dalam PVN. CRF kemudian menyebabkan pelepasan ACTH yang menyebabkan
pelepasan glucocorticoid. Glucocorticoids menghalangi CRF hypothalamic dan
catecholamine aktivitas. Glucocorticoids secara efektif menghambat respon
stress.
Figure 3. Two representations showing the two tracks that
emotionally stimulating sensory information takes to the amygdala after
entering the brain through the thalamus. HPA, hypothalamic-pituitary-adrenal..
. LeDoux JE,1994
|
Perubahan perilaku yang terjadi, dikarenakan adanya system yang
bekerja pada otak. Sistem yang bekerja pada otak ini, terutama meliputi korteks
prefrontal, amigdala, HPA axis, dan kelenjar adrenal (kortisol). Seperti yang
terdapat dalam gambar diatas, ketika terlihat, terjadi, terdengar, terasa
sesuatu yang membuat shock, akan mengakibatkan anxietas yang berlebihan. Ketika
terjadi kejadian traumatic seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka akan
aktiflah system ini, aktifnya system ini dapat berlangsung sebentar, namun
dapat pula berlangsung lama. Hal ini tergantung dari aktifitas amigdala dan PFC
sebagai tempat dari pengatur emosi dan perilaku (Higgins), juga tergantung dari
persepsi yang dihasilkan korteks, juga tergantung dari seberapa berat stress
yang didapat, serta waktu pemulihan dari stress tersebut (Casey).
Figure 4. Anxiety disorders and dysregulation may be the result of too much activity in the amygdala and not enough activity in the prefrontal cortex (PFC). Higgins, 2007
Anxietas
yang berlebihan terhadap suatu subjek traumatik, merupakan hasil yang
disebabkan karena radanya ketidak seimbangan antara amigdala dan aktifitas
korteks prefrontalis.
Hubungan
terjadinya respon perubahan perilaku yang dapat diobservasi peneliti terhadap
aktifitas prefrontal korteks dan juga terhadap amigdala, dapat dijelaskan
melalui gambar dibawah ini. Gambar ini merupakan representasi dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan untuk menilai hubungan aktifitas PFC dan amigdala
pada orang dengan PTSD dan orang normal lainnya. Dalam konsep yang simple, kita dapat
membayangkan bahwa
mPFC menyebabkan pemutusan sirkuit menuju amigdala sebagai pusat emosional.
Figure 6 : Traumatized
Figure 6:subjects and controls are shown pictures of fearful
faces and happy faces while in a functional magnetic resonance imaging (fMRI).
The patients show increased activity in the amygdala (B)
and decreased activity in the prefrontal cortex (PFC) (C)
compared to the controls. Activity in the PFC and amygdala (D)
have an inverse correlation for the traumatized patients. Calder etal, 2001
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa terdapat
pengaruh terhadap perilaku seseorang, termasuk anak-anak korban bencana alam
ini yang mengalami kejadian taumatik yang menjadi rekaman tertentu dalam
korteks cerebri, lalu mengaktifkan HPA Axis, pengeluaran kortisol, aktifasi
system amigdala, aktifasi system prefrontal cortex.
3. Karateristik Anak Usia Dini
Anak
usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini
merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan
kepribadian anak (Yuliani Nurani Sujiono, 2009: 7). Usia dini merupakan usia di
mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini disebut
sebagai usia emas (golden age). Makanan yang bergizi yang seimbang serta
stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
tersebut.
Ada berbagai kajian tentang hakikat anak usia dini, khususnya anak TK
diantaranya oleh Bredecam dan Copple, Brener, serta Kellough (dalam Masitoh
dkk., 2005: 1.12 – 1.13) sebagai berikut.
-
Anak bersifat unik.
-
Anak mengekspresikan
perilakunya secara relatif spontan.
-
Anak bersifat aktif dan
enerjik.
-
Anak itu egosentris.
-
Anak memiliki rasa
ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal.
-
Anak bersifat
eksploratif dan berjiwa petualang.
-
Anak umumnya kaya
dengan fantasi.
-
Anak masih mudah
frustrasi.
-
Anak masih kurang
pertimbangan dalam bertindak.
-
Anak memiliki daya
perhatian yang pendek.
-
Masa anak merupakan
masa belajar yang paling potensial.
-
Anak semakin
menunjukkan minat terhadap teman.
4. Prinsip-prinsip Perkembangan
Anak Usia Dini
Prinsip-prinsip perkembangan anak usia dini berbeda dengan
prinsip-prinsip perkembangan fase kanak-kanak akhir dan seterusnya. Adapun
prinsip-prinsip perkembangan anak usia dini menurut Bredekamp dan Coople (Siti
Aisyah dkk., 2007 : 1.17 – 1.23) adalah sebagai berikut.
a.
Perkembangan aspek
fisik, sosial, emosional, dan kgnitif anak saling berkaitan dan saling
mempengaruhi satu sama lain.
b.
Perkembangan
fisik/motorik, emosi, social, bahasa, dan kgnitif anak terjadi dalam suatu
urutan tertentu yang relative dapat diramalkan.
c.
Perkembangan
berlangsung dalam rentang yang bervariasi antar anak dan antar bidang
pengembangan dari masing-masing fungsi.
d.
Pengalaman awal anak
memiliki pengaruh kumulatif dan tertunda terhadap perkembangan anak.
e.
Perkembangan anak
berlangsung ke arah yang makin kompleks, khusus, terorganisasi dan
terinternalisasi.
f.
Perkembangan dan cara
belajar anak terjadi dan dipengaruhi oleh konteks social budaya yang majemuk.
g.
Anak adalah pembelajar
aktif, yang berusaha membangun pemahamannya tentang tentang lingkungan sekitar
dari pengalaman fisik, social, dan pengetahuan yang diperolehnya.
h.
Perkembangan dan
belajar merupakan interaksi kematangan biologis dan lingkungan, baik lingkungan
fisik maupun lingkungan sosial.
i.
Bermain merupakan
sarana penting bagi perkembangan social, emosional, dan kognitif anak serta
menggambarkan perkembangan anak.
j.
Perkembangan akan
mengalami percepatan bila anak berkesempatan untuk mempraktikkan berbagai
keterampilan yang diperoleh dan mengalami tantangan setingkat lebih tinggi dari
hal-hal yang telah dikuasainya.
k.
Anak memiliki modalitas
beragam (ada tipe visual, auditif, kinestetik, atau gabungan dari tipe-tipe
itu) untuk mengetahui sesuatu sehingga dapat belajar hal yang berbeda pula
dalam memperlihatkan hal-hal yang diketahuinya.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kondisi perkembangan anak usia dini adalah kondisi terbaik
anak untuk berkembang dan belajar adalam dalam komunitas yang menghargainya,
memenuhi kebutuhan fisiknya, dan aman secara fisik dan fisiologis.
5.
Hubungan Antara Faktor
Psikologi dan Fisiologi Terhadap Korban Bencana Alam
Seperti yang telah di kemukanan oleh Taylor (2003) bahwa
stress adalah suatu pengalaman emosiaonal yang bersifat negatif dan dapat di
prediksi secara biokimia, fisiologis, kognitif, dan perubahan perilaku terhadap
stressfull event. Streefull event dapat memberikan pengaruh negatif pada
individu yang mengalami, seperti berupa rasa marah, tegang, bingung, dan cemas.
Stress ini dapat menghilang dengan cepat atau membutuhkan waktu
berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan. Dan stress ini dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh (immun).
Kejadian traumatik bencana alam menjadi sebuah stress bagi
mereka, stress yang sangat berat, yang meliputi keterlibatan seluruh indra,
dapat merubah imunitas tubuh. Hal ini terjadi sebagai sebuah respon untuk
beradaptasi terhadap lingkungan sekitar yang berubah (Maj, 2005). Perubahan
ini, sangat erat kaitannya dengan aktifasi system yang mengeluarkan
glukokortikoid (kortisol) dari kelenjar adrenal (Greenstein, 2000). Perubahan
yang tidak tepat atau sesuai akan menyebabkan perubahan patologis (Ibor, 2005).
Kedua faktor psikologi dan fisiologi ini akan muncul secara
besama-sama pada orang yang mengalami korban bencana alam, terutama pada anak-anak.
Selain memberikan pengaruh yang negatif pada anak-anak karena timbul stress,
rasa cemas yang mendalam, atau merasa kehilangan keluarga sehingga kurang
istirahat dan terjadinya tekanan pada diri sehingga pada anak akan cepat
terjadinya penurunan sistem immun. Dan selain itu traumatik yang di alami pada
masa kanak-kanak akan sangat berpengaruh sangat lama pada masa anak-anak dan
itu sangat berpengaruh pada perkembangan anak di masa dewasanya. Hal ini
seperti yang di ungkapkan oleh Seto Mulyadi (2005) bahwa permasalahan pada masa
anak harus segera diselesaikan, sebab pengalaman pada masa kanak-kanak memiliki
pengaruh yang sangat kuat pada pola kehidupan di masa dewasannya nanti.
KSEIMPULAN DAN SARAN
Dapat
kita simpulkan bahwa,
yang terjadi pada anak-anak korban bencana alam adalah suatu kejadian yang bisa
mempengaruhi perkembangan secara psikologis dan fisiologis, yang diantaranya
faktor psikologis berupa stress dan faktor fisiologis berupa penurunan tingkat
imunitas. Karena kejadian bencana alam tersebut meningkatkan stress dan tekanan
yang cukup berat, menekan respon immune korban, termasuk anak-anak, dan
tanda-tanda penurunan imun dapat kita lihat selanjutnya, seperti demam, sakit perut, pucat, sering merasa sakit kepala, anak menjadi
lemas, myalgia serta ada pula terkena ISPA
.
Daftar Pustaka
Gunarsa, S.D. (1990). Dasar dan teori perkembangan anak dan remaja. Jakarta : Gunung Mulia.
Hartiningsih.
(2005). Bencana gempa
dan tsunami. Jakarta: Buku Kompas.
Heterington,
M. E., & Parke, R. D. (1993).
Child psychology a contemporary
viewpoint. Boston : McGraw Hill.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta :
Erlangga.
Ibor,
Jose L., Gaebel, Wolfgang., Maj, Mario., & Sartorius, Norman. (2002). Psychiatry as a Neuroscience. Chicester-UK:
John Willey and Sons,
Marieb, Elaine
N., Hoehn, Katja.(2009) Human Anatomy and
Physiology 7th edition.Pearson Publicaation Inc. Publishing as
Benjamin Cummings.
Monahan, C.
(1993). Children And Trauma:
A parents guide to helping children heal. USA : Lexington Books.
Naqiah, N. (2006). Penanggulangan pasca tsunami. www.najlah.blogsport.com. Diakes.
Tahun 2006.
Randy
J. Nelson, Gregory E. Demas, Sabra L. Klein, Lance J. Kriegsfeld.(2002)
Patterns of Stress, Immune Function and disease. Cambridge University Press.