Friday, April 3, 2009

BENARKAH OLAHRAGA MEMBANGUN KARAKTER

Oleh :

Akhmad Sobarna

Abstrak

Partisipasi dalam olahraga selalu menjadi bagian penting di lingkungan kita. Orang-orang mengiukuti kegiatan olahraga dengan alasan kesehatan dan kebugaran, namun ada pula dengan maksud untuk membangun karakter dan sosialisasi.

Benarkah olahraga membangun karakter, ini masih menjadi perdebatan. Dalam makalah ini ditambahkan bahasan mengenai karakter apa dan apa saja yang terkait dalam olahraga untuk membangun olahraga, serta adanya review tentang beberapa literature dan penelitian mengenai olahraga yang membangun karakter.

Olahraga adalah fenomena sosial yang tersebar sangat luarbiasa. (Eitzen & Sage, 2003:1)

Olaraga menjadi bagian penting secara sosial dan budaya tidak hanya di Amerika melainkan juga di seluruh dunia. Olahraga dilakukan oleh seluruh tingkatan usia mulai usia yang sangat muda sampai usia yang sangat tua, dengan tujuan dari sekedar kesenangan, rekreasi sampai untuk tujuan professional. Olahraga dapat dilaksanakan dengan jumlah yang besar dari berbagai usia di sekolah, klub, perusahaan dan pusat-pusat masyarakat. Kecuali untuk anak-anak olahraga tidak terpaku pada rekreasi atau olahraga yang terorganisir. Di kampus dan perguruan tinggi, mahasiswa melakukan olahraga di dalam gedung, klub dan berbagai pertandingan antar kampus. Michener (1976) menyatakan: “Orang muda membutuhkan pengalaman penerimaan: hal itu bisa diperoleh dari berbagai cara … tetapi di Amerika olahraga merupakan pilihan utama untuk pengalaman tersebut. (hal. 19).

Orang melakukan olahraga dengan berbagai alasan –kesehatan dan kebugaran, manajemen stress, sosialisasi, relaksasi dan lainnya. Salah satu alasan penting lainnya adalah pengembangan karakter. “Olahraga membangun karakter” sering menjadi slogan. Sayangnya, olahrga bukan untuk membangun karakter.

Saat ini masalah utama dan sering menjadi masalah di berbagai level adalah kelaziman perilaku yang tidak pantas dan karakter buruk. Skandal penjiplakan, obat-obatan, kekerasan, arogan dan perbuatan buruk lainnya dalam olahraga selalu menjadi pertentangan norma. Brenda Bredemeier (dalam sebuah percakapan pribadi, Februari 2005) menggambarkan bahwa periaku atlit dalam olahraga berbeda dengan kenyataan hidup sehari-hari –istilahnya moralitas dalam kurung. Moralitas dalam kurung berarti bahwa dalam sebuah even olahraga, segala sesuatunya bisa terjadi. Para atlit akan sering menampilkan prilaku yang pro-sosial dalam sebuah pertandingan olahraga (cara yang mereka pikir harus mereka lakukan). Beberapa penelitian (Brendemeier & Shields, 1985; Eitzen & Sage, 2003) memunculkan bahwa perilaku dalam olahraga berbeda dan terpisah dengan kenyataan hidup sehari-hari.

Sementara suatu klaim menyatakan bahwa karena olahraga dan bermain terpisah dari kenyataan hidup, ketidakberhubungan ini membenarkan adanya perilaku yang tidak pantas, yang lainnya mengatakan bahwa olahraga menandakan kehidupan sebenarnya (Coakley, 2001). Olahraga, seperti bisnis, pendidikan, sosialisasi dan perang, semuanya adalah bagian dari kenyataan hidup. Asal mula yang berbeda tersebut merupakan bagian kenyataan hidup yang sungguh nyata. Kajian filosofis atau teori-teori yang memisahkan olahraga dari kehidupan nyata memberi dorongan bagi pelaku olahraga dan memberikannya perilaku yang dibenci dan tidak pantas di masyarakat. Moralitas dalam kurung tidak bisa dan tidak harus menjadi cek kosong (blank check) terhadap perilaku dalam olahraga. Sama halnya dengan perang dimana ada aturan peperangan (sesuai dengan Konvensi Geneva) dan standar perilaku, dalam kehidupan olahraga pun terdapat “benar” dan “salah”. Dalam kajian yang berbeda, meski diperoleh keuntungan dari kajian akademik dan filosofis, sebenarnya hal itu menyebabkan permasalahan perilaku buruk dalam olahraga.

Dapatkah bawaan karakter positif dikembangkan melalui pengalaman olahraga? Sesungguhnya hal itu tidak akan terjadi dengan sengaja atau direncanakan. Ini hanya dapat dan akan terjadi ketika pelatih, guru dan pengurus olahraga membuat sebuah keputusan sadar untuk membuat pengembangan karakter sebagai hasil dari pengalaman olahraga. Bagaimana hal itu dapat ditetapkan, ini akan menjadi topik di kemudian hari.

Makalah ini juga membahas tentang apakah olahraga dapat membangun karakter dengan menentukan karakter, mengamati pelaksanaan olahraga dan mereview beberapa rujukan tentang karakter dalam olahraga.

Definisi Karakter

Kejuaraan Dunia adalah sebuah keserasian ketika Briana Scurry, seorang penjaga gawang Amerika, berteriak keras di bawah mistar gawang pada 10 Juli di Rose Bowl. Dengan teriakannya, penjaga gawang Amerika tersebut telah menggagalkan musuhnya, pemian Cina ketiga dalam tendangan pinalti, sehingga menentukan kemenangan Women’s World Cup…. hal itu merupakan satu pilihan untuk melemahkan lawan. Inilah upaya lain yang dilakukan Scurry untuk menggagalkan taktik lawan.

Dengan pengakuannya, Scurry memutuskan untuk meningkatkan peluangnya dengan mengabaikan aturan tendangan pinalti. Dengan gerakan yang cepat dan praktis, Scurry menggerakan dua kakinya ke depan –dengan melanggar aturan- dan mematahkan engkel Liu Ying, lawannya. Dengan reflek yang sangat indah, Scurry menjatuhkan diri ke arah sebelah kiri sehingga tendangan Liu melebar ke luar gawang. Itulah satu gerakan singkat yang memberikan kemenangan pada kesebelasan Amerika…. Posisi Scurry seperti itu membuatnya bicara di Los Angles Times: “Semua orang bisa melakukan hal itu. Ini hanyalah sebuah tipuan bila anda dalam keadaan tertekan.”

(Vescey, 1999: 13).

Kepentingan dan kenyataan karakter merupakan hal yang beralasan. Meskipun hal ini tidak ada dasar empiris, namun telah berkembang di masyarakat sehingga tidak bisa terbantahkan. Karakter seseorang, berhubungan dengan kepribadian, menampilkan siapa pelakunya dan bagaimana mereka melakukannya (Brody & Siegel, 1992). Siapa pelaku dan bagaimana melakukannya merupakan hal penting karena kehidupan manusia sehari-hari melibatkan interaksi dengan orang lain. Konsekuensinya, dalam semua aspek sosial –politik, bisinis, pendidikan, pergaulan, agama dan entertainment- karakter seseorang (sekaligus dengan kepribadiannya) berperan dalam mempengaruhi kualitas dan kenyataan interaksi manusia. Karakter seseorang jelas sangat penting karena dia berhubungan dengan kehidupan orang lain.

Sementara karakter sering diangkat, dikaji, dan dipelajari, namun kenapa orang menyetujui karakter tersebut sangat jarang dikaji. Orang bisa saja menyetujui bahwa karakter itu penting. Namun, mereka akan segera tidak menyetujui tentang apa arti karakter. Jadi, Apa itu karakter?

Berbagai definisi tentang karakter datang dari berbagai sumber –tak satupun yang dianggap salah. Kalangan filosof telah memilki kecenderungan untuk mendefinisikan karakter dari perspektif esoteric (hanya orang tertentu yang memahami) dan telah menganggapnya nyata dalam kehidupan dengan perilaku dan perbuatan seseorang. Contoh,

Cara yang paling singkat dan meyakinkan untuk hidup mulia di muka bumi adalah menjadi nyata apa yang akan kita tampilkan. Setiap kebijakan manusia meningkatkan dan memperkuat dirinya dengan perbuatan dan pengalamannya.

(Socrates)

Apa yang sedang kamu lakukan menyuarakan bahwa aku tidak bisa mendengar apa yang sedang kamu bicarakan. (Ralph Waldo Emerson)

Kalangan sarjana sering mengambil perspektif lebih teoritis dalam mendefinsikan karakter. Salah satunya yang didefinisikan Bredemeier & Shields (1995), yaitu karakter adalah keadaan internal yang dimanifestasikan dalam perilaku. Keadaan internal tersebut memandu keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang menentukan kualitas diri seseorang (Marrella, 2001) Bredemeier & Shields (1995) mengindikasikan karakter sebagai dimensi terdalam dari seseorang yang proses tindakan moralnya menjadi perilaku. Brody & Siegel (1992) mendefinsikan karakter dengan istilah keseluruhan kulaitas moral seseorang. Marrella (2001) mempercayai seseorang dengan karakternya berarti manandakan kebenaran, memutuskan apa yang benar, dan memiliki dorongan dan komitmen untuk bertindak secara mendasar.

Menurut beberapa ahli, cara yang efektif dan umum untuk membahas karakter, adalah dengan mengetahui apa itu, dari mana berasal atau dengan pendekatan bawaan (Bredemeier & Shields, 1995).

Orang dengan karakter moral yang baik datang untuk memiliki tingkat kebajikan yang luas dan rela ditempatkan untuk melakukan keinginannya baik untuk jangka panjang maupun untuk jangka pendek (Arnold, 2001). Contoh, seseorang dengan karakternya menampilkan bawaan respek, integritas, jujur, bertanggungjawab, berani, adil, kasih sayang dan memihak. Bredemeier dan Shields (1995) menggambarkan karakter olahraga dengan empat kebijakan: kasih sayang, adil, sportif, dan integrative, serta percaya bahwa kepemilikan terhadap sifat-sifat atau kebijakan tersebut memfasilitasi penampilan konsisten tindakan moral dalam olahraga (Bredemeier & Shields, 1995).

Dalam dunia olahraga, banyak pelatih yang berhasil telah mengajarkan kepribadian dan kebajikan karakter dalam olahraga dengan waktu yang sangat lama. Pelatih basket legendary di UCLA, John Wooden (Wooden & Jamison, 1997), menyatakan tentang pentingnya karakter dan karakter apa yang harus dilakukan seorang atlit dengan menyatakan “kemampuan akan mangantarkan kamu ke puncak dan menguasai karakter akan menjaga kemampuan itu” (h. 199) Dia juga mengatakan, “Harus lebih memperhatikan karakter daripada reputasimu, karena reputasi kamu adalah apa yang orang pikirkan tentang kamu, sementara karakter adalah kamu yang sesungguhnya” (h. 199). Mike Krzyzewski (2001) percaya bahwa karakter seseorang terefleksi dalam cara dia melakukan kembali pada situasi yang sulit dan menguji. Dean Smith, John Thompson, dan Joe Paterno adalah pelatih sukses lainnya pada tingkat perguruan tinggi, menekankan perkembangan karakter dalam programnya.

Dalam dunia militer, karakter didefinisikan sebagai cara seseorang bertindak saat tidak ada orang yang melihatnya. Praktisnya, ini mengartikan apa yang dilakukan orang tersebut –bagaimana dia bertindak. Tentara Amerika menggunakan 7 standar untuk mengukur bawaan –dengan mendefinisikan karakter seseorang pada: loyalitas, tugas, respek, servis toleran, kejujuran, integritas dan keberanian.

Untuk mendefinisikan karakter lebih akurat, akan membantu memecahkannya dari sudut pandang psikologis seperti yang akan digambarkan pada bagan berikut. Pandangan penulis adalah bahwa karakter seseorang muncul dalam sebuah setting olahraga dengan menampilkan respek dan integritas (bukanlah karakter bila perilakunya tidak respek dan integritas).

Gambar 1. Model Konstruksi Karakter

Karakter (Konstruksi)

Respek (bawaan tersembunyi) Integritas (bawaan tersembunyi)

Definisi Bawaan Tersembunyi

Kami tidak begitu respek pada mereka (Tim USA) ini, namun anda boleh respek

(Vladislav Tretiak, seorang goaltender pada tim Hokey es USSR tahun 1980, berkomentar setelah kalah tim USA pada olimpiade musim dingin tahun 1980, The Miracle On Ice”. Kalah dari Tim USA dianggap merupakan kesedihan dalam sejarah olahraga dan secara parsial Tim USSR tidak menghormati Tim USA atau ingin memberikan kemenangan dalam kesempatan lain).

Respek adalah bagaimana anda menjalin dan memperhatikan orang lain. Respek merupakan kata kerja; ini adalah sesuatu yang anda lakukan atau yang anda abaikan. Respek adalah “untuk merasa atau menunjukkan perhatian istimewa terhadap orang lain” (American Heritage Dictionay, 1982:1.052). Respek adalah pehatian untuk kemulyaan dan keluhuran fundamental bagi semua manusia (Merrella, 2002). Banyak orang menganggap kata respek sebagai “The Golden Rule” (Aturan Emas). Respek bukanlah sesuatu yang dapat ditiru namun menjadi sesuatu yang harus diwujudkan …. seorang manusia mempunyai sebuah disposisi untuk bertindak dengan respek, itu hanyalah perbuatan seseorang untuk respek sehingga kualitas muncul… respek terjaga dengan perilaku respektif terhadap orang lain” (Lawrence-Lightfoot, 2000:10).

Definisi di atas termasuk respek untuk teman satu tim, lawan, fans, pelati, dan wasit. Contoh sikap repektif adalah berjabat tangan, membantu teman satu tim atau lawan dan mau mendengarkan. Perilaku yang menunjukkan kurang respek seperti mencela, menggerutu, menyoraki pelatih atau wasit, meniru gerakan, atau mempengaruhi skor lawan.

Fraleigh (1994), McNamme, dan Parry (1998) serta Shea (1996) berpendapat bahwa respek dalam olahraga sungguh berarti cara atau bagaimana seorang atlit mendekati lawannya baik di dalam pertandingan maupun di luar. Kurang respek akan menjadi “perlakuan buruk dari seorang lawan seperti tidak menghargai kemengan lawan …. rasa keberatan terhadap lawan” (Fraleigh, 1994:86). Seorang partisipan penelitian berkata, “Aku begitu busuk sehingga mendapatkan perlakuan yang tidak respek dari seorang laki-laki (Fraleigh, 1994:85).

Integritas menunjukkan perbuatan yang benar dan sejati di muka bumi. Integritas merupakan ketaan yang tulus terhadap moral dan aturan etika (American Heritage Dictionary, 1982:667). Jika seseorang melakukan atau mengatakn sesuatu yang benar, dia bertindak dengan intergitas. Definisi integritas ini juga termasuk tidak sekedar untuk tidak berbohong, menjiplak atau mencuri. Integritas berbekas dengan “sense of duty’ (rasa bertanggungjawab terhadap kerja) atau melakukan sesuatu yang dianggap bekerja oleh orang lain dengan tanggung jawab. Dalam dunia olahraga definisi integritas ini termasuk latihan tepat waktu, selalu bersiap-siap untuk setiap pertandingan, mematuhi instruksi pelatih dan memberikan upaya terbaik dalam latihan dan pertandingan.

Delettre (1971) secara kuat dan singkat mengalamtkan integritas dalam sebuah setting olahraga dengan cara berikut: Bertanding, menang dan kalah, dalam atletik mudah dipahami hanya dalam framework aturan yang membatasi kompetisi olahraga tertentu. Seorang boleh berlomba atau menipu (berbuat curang) dalam pertandingan tetapi tidak mungkin bagi seseorang untuk melakukan keduanya dalam sebuah pertandingan. Menipu yaitu menghentikan pertandingan. Dengan alasan ini menunjukkan bahwa pelaku kecurangan merupakan kegagalan yang paling besar dalam semua pertandingan atletik karena gagal satu berarti gagal semua. (h. 136)

Meskipun selalu akan ada perdebatan sehat seperti kebaijkan yang membuat seseorang dengan karakternya, beberapa sifat muncul dengan universal. Pada sebuah Forum Negara-negara Dunia tahun 1996 di Institute of Global Ethics, melibatkan lebih dari 250 partisipan, utusan 40 negara dan lebih dari 50 agama, sebuah survey menemukan bahwa kebenaran, kasih sayang, tanggung jawab, kebebasan dan persembahan dalam hidup dianggap sebagai nilai-nilai yang paling penting dalam kehidupan sehari-hari (Merrella, 2001:11). Dengan catatan, dari perspektif praktis, bisnis dunia (ekonomi, travel, pemerintahan, pendidikan, hubungan luar negeri dan lain-lain) tidak bisa berfungsi secara proporsional jika beberapa sifat universal seperti tanggung jawab dan kebenaran tidak eksis. Dalam konteks olahraga, sebuah kontes pertandingan tidak bisa dimainkan jika tidak ada harapan fundamental (tanggung jawab) sehingga partisipan dapat akan mengikuti aturan dan ketentuan yang mengatur olahraga.

Seseorang dengan karakter menampilkan perilaku yang menunjukkan respek dan integritas (atau kurang berkarakter jika perilaku tidak respektif atau kurang integrated. Definisi karakter di atas semuanya membicarakan tentang tindakan atau perilaku –karakter seseorang diturunkan melalui perilakunya. Posisi teoritis ini dikonsentrasikan dengan pernyataan tentang kepercayaan atau sebuah sikap, yang tidak sama dengan tindakan. Seseorang mungkin memikirkan satu cara namun menggunakan cara lain dalam tindakan. Skinner (1971) melaporkan bahwa manusia bertingkah laku dalam cara-cara tertentu saja karena mereka memiliki filsafat, sehingga perilaku tercampur dengan nilai-nilai filsafatnya.

Perilaku moral sering merupakan hasil atau akibta dari moral. Hubungan antara perilaku dan akibatnya menjad topic penelitian di perguruan tinggi. Thoma (1994) menyatakan bahwa ada hubungan yang nyata antara akibat moral dengan perilaku moral. Rest (1979, 1986) tidak percaya bahwa keputusan moral dan moralitas perlu dihubungkan dengan karakter atau perilaku. Dia percaya bahwa perilaku ditentukan oleh sejumlah faktor yang kompleks dan bahwa akibat moral dengan keputusannya hanya memainkan perna kecil dalam penjelasan tentang perilaku moral. Lickona (1991) berpendapat bahwa karakter yang baik adalah hasil dari perasaan dan proses kognitif. Tentunya ada komponen akibat moral para perilaku moral.

Hanya saja dalam olahraga, perilaku pemain sering instingtif dan instant. Olahraga sangat emosional, stress fisik, berubah-rubah dan melibatkan situasi yang tidak menentu dan sring agresif. Waktu untuk akibat moral dan proses kognitif sering tidak eksis dalam olahraga. Atlit sering hanya bertindak dan dengan alasan yang berubah-rubah dengan berbagai perilaku. Tetapi ketiak mereka melakukan tindakan, perilaku mereka merefleksikan siapa mereka.

Penulis setuju dengan keyakinan Skinner (1971) bahwa seseorang bertanggung jawab pada perilakunya karena ada konsekuensi dari perilaku baik dan buruk. Setiap orang dapat dan harus mengontrol dirinya untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai yang dibangun. Terdapat tingkatan yang significant mengenai tanggung jawab seseorang terhadap karakternya, yang muncul dalam perilaku. Jika perilaku seseorang tidak merefleksikan karakternya sehingga orang tersebut tidak dalam keadaan benar terhadap nilai-nilainya dan kurang karakter. Sikap dan kepercayaan seseorang penting tetapi tindakan jauh lebih penting. Perilaku seseorang adalah pilihannya. Dia tidak dapat dan tidak harus mengubah tanggung jawab di tempat lain.

Perkembangan Karakter dan Partisipasi dalam Olahraga

Dengan popularitas olahraga di dunia yang luar biasa, perkembangan karakter menjadi bagian pengalaman olahraga –pada level remaja, kuliah, dan professional. Menurut teori Peagetian, sebuah keuntungan aktifitas fisik adalah bahwa proses dan struktur psikologis seseorang akan tumbuh (Bredemeier & Shields, 1995). Olahraga adalah refleksi dari kecenderungan nilai yang ada di masyarakat. Olahraga adalah sebuah lingkungan yang menyimbolkan nilai-nilai budaya dan menjadi media dimana orang muda dapat belajar tentang pengalaman banyak nilai-nilai inti dari negera kita (Bredemeier &Sjields, 1995). Pengalaman-pengalaman ini merupakan bagian utama dalam perkembangan karakter.

Olahraga tidak membangun karakter. Karakter dapat diajarkan dan dipelajari dalam setting olahraga. Pengalaman olahraga dapat membangun karakter, kecuali jika lingkungannya dibentuk, dinyatakan, dan direncanakan untuk mencapai tujuan mengembangkan karakter. Jenis lingkungan ini harus memasukkan semua orang seperti pelatih, official, orang tua, pemain dan lain-lain yang menjadi pelaku dalam setting olahraga tersebut. Coakley (2001) telah merekomendasikan sebuah setting olahraga yang menempatkan pemain mendapatkan penghargaan lebih dari cara mereka bermain, sportsmanship, melebihi penghargaan dari kemenangan dan kekalahan yang mereka alami. Hellison (2003), Parker dan Stiehle (2004) sungguh percaya bahwa karakter positif dapat dan harus diajarkan dan dipelajari dalam setting aktifitas olahraga. Program olahraga pada semua level dapat dirancan g secara khusus untuk mengembangkan baik gayahidup aktif maupun karakter positif (Alberts, 2003). Tujuan dari setting tersebut adalah bahwa perilaku dan nilai-nilai bertanggung jawab dan layak dikembangkan dalam olahraga dan kelas pendidikan fisik akan juga digunakan di luar sekolah, seperti rumah dan alam bebas (Parker & Stiehl, 2004).

Catatan, Bredemeier dan Shileds (1995) mengkhususkan bahwa dengan metode pelatihan dan pengajaran yang tepat serta penekanan pada perkembangan karakter, olahraga dan kegiatan fisik dapat menjadi tempat pemusatan yang tepat untuk perkembangan karakter. Helleison (2003) mendukung pendapat ini dan menjalankan program olahraga setelah sekolah di Cicago bagi kalangan remeja yang beresiko (bermasalah). Program olahraga dalam berbagai level memiliki potensi untuk mengembangkan karakter.

Hanya saja, membangun karakter yang positif tidak inherenty pada partisiasi olahraga (Gerdy, 2000; Hellison, 2003). Para atlit khususnya dalam olahraga tim, cenderung memilki skor rendah dalam uji karakter (Krause & Priest, 1993; Beller & Stoll, 1995); Dunn & Dunn, 1999). George Sage (Personal Communication, May, 2004) percaya bahwa olahraga di Amerika telah mencapai poin “krisis” dan hampir semua pengalaman olahraga atlit merugikan perkembangan karakter mereka. Moyoritas laporan riset bahwa terdapat hubungan negative antara partisipasi dalam olahraga dengan perkembangan karakter (Krause & Priest, 1993; Dunn & Dunn, 1999; Silva, 1983; Beller & Stoll, 1995; Bredemeier & Shields, 1984an; Bredemeier, 1995; Hahm, 1989).

No comments:

Post a Comment